Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Selera Risiko untuk Pengawas Intern: Mengawal, Mengawasi, dan Menghilangkan Silo

Oleh: Hari Setianto, President, Institute of Internal Auditors (IIA) Indonesia Advisor-Governance, Risk Management dan Compliance

Selera Risiko untuk Pengawas Intern: Mengawal, Mengawasi, dan Menghilangkan Silo Kredit Foto: Hari Setianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah tanggal 15 Juni 2020 menggariskan selera risiko (risk appetite) yang jelas dan tegas bagi pengawas intern pemerintah maupun aparatur pemerintah.

Selera risiko adalah pernyataan secara garis besar mengenai jenis dan jumlah risiko yang dapat diterima oleh organisasi (dalam hal ini pemerintah) dalam rangka mengejar penciptaan dan peningkatan nilai.

Baca Juga: Remote Auditing dan Agility: Kiat Auditor Menavigasi Pandemi

Pengawas intern pemerintah diminta untuk mengawal dan mengawasi program Percepatan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang menggunakan dana yang begitu besar (Rp677,2 triliun). Pengawas intern diminta untuk mengawal agar program tersebut dapat membantu masyarakat dan para pelaku usaha yang sedang mengalami kesulitan dan memastikan bahwa output dan outcome-nya dapat maksimal bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah memiliki toleransi yang rendah pada kerja yang lambat dan birokratis. Presiden menekankan bahwa tata kelola program harus baik, prosedurnya sederhana, dan tidak berbelit-belit. Pengawas intern pemerintah dan aparat penegak hukum diminta untuk tidak menebarkan ketakutan kepada para pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Program yang dilakukan dalam kondisi kedaruratan tentu saja membutuhkan tindakan yang tepat sasaran yang harus diputuskan dalam tempo singkat dan dilaksanakan dengan cepat.

Pada sisi lain, selera risiko pemerintah terhadap perilaku korupsi juga rendah bahkan nol (zero tolerant, tidak ada). Presiden menegaskan pemerintah tidak main-main dalam soal akuntabilitas.

"Kita harus membangun situasi kondusif yang memungkinakan kita untuk bekerja dengan cepat dan tepat sasaran. Namun, jika dalam situasi demikian, masih ada yang membandel, masih ada yang berniat untuk korupsi, maka silakan digigit dengan keras!" tegas Presiden Jokowi. "Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus ditegakan."

Artikulasi selera risiko yang jelas dan tegas tersebut berlaku juga bagi pejabat dan aparatur negara yang menjalankan program. Presiden menghendaki prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit sehingga manfaat dari program tersebut dapat dinikmati dengan maksimal oleh sasaran penerima manfaat.

Selera risiko yang tersirat dalam pesan tersebut adalah bahwa pemerintah bersedia menerima risiko terjadinya kesalahan sampai batas tertentu. Untuk mencapai manfaat yang besar, pelaksana program diminta bekerja cepat, meskipun ada risiko kesalahan; daripada lambat tetapi (harapannya) akurat.

Namun, harus ada pembedaan yang tegas antara "kesalahan" dengan "kecurangan". Kesalahan (mistakes) adalah sesuatu yang tidak disengaja, tetapi terjadi karena mengejar manfaat yang lebih besar.

Sedangkan "kecurangan" (fraud) adalah perbuatan yang disengaja dengan niatan korupsi, tindakan yang memiliki mens rea korupsi. Pemerintah memiliki sedikit selera risiko terhadap kesalahan, tetapi tidak memiliki selera risiko sama sekali terhadap risiko kecurangan (zero tolerant).

Implikasi terhadap proses pengadaan barang dan jasa pada masa kedaruratan (maupun masa normal) juga jelas. Sinyal dari para pemimpin dalam Rakornas tersebut menyiratkan bahwa kepatuhan terhadap peraturan pengadaan barang dan jasa harus lebih mengedepankan substansinya. Yang harus diikuti adalah roh-nya dari aturan tersebut sehingga tercapai pengadaan barang dan jasa yang CAM (cepat, aman, dan murah).

Selera pemerintah bukan pada pengadaan barang dan jasa yang birokratis, mengutamakan pemenuhan prosedur tetapi tidak mencapai tujuan CAM. Bukan pengadaan yang prosesnya sangat lambat, harga yang terjadi tidak murah, dan barang dan jasa yang diperoleh "abal-abal", meskipun semua prosedur terpenuhi, tidak ada yang "dilanggar".

Pengawas intern pemerintah dan aparat penegak hukum perlu meneruskan pesan bahwa proses pengadaan yang seperti tersebut di atas adalah di luar selera risiko pemerintah. Pengawas intern pemerintah perlu menindaklanjuti pesan dari Presiden dan para Menteri dalam Rakornas tersebut harus dengan menjalankan beberapa best practices.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: