Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Malang Tak Boleh Ditolak: Pengusaha Ini Masih Harus Berdarah-Darah Walau Menhub Sudah Bertitah!

Malang Tak Boleh Ditolak: Pengusaha Ini Masih Harus Berdarah-Darah Walau Menhub Sudah Bertitah! Kredit Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan menaikkan kapasitas angkut penumpang bus sebesar 70 persen mulai 1 Juli 2020. Namun, hal ini diprediksi tak akan memperbaiki nasib pengusaha bus. Mereka akan tetap berdarah-darah karena masyarakat yang mampu dan mau menggunakan transportasi darat ini masih sangat kecil.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi, mengatakan bahwa dengan peningkatan kapasitas penumpang, pemerintah berharap operator bus tidak akan mengerek harga tiket. Pasalnya, dengan kapasitas 70 persen, operator sudah mampu memenuhi Break Event Point (BEP)

Baca Juga: Menhub Budi Apresiasi Usai Lihat Langsung Kesiapan dan Fasilitas YIA

“Sebetulnya, kita sudah mengakomodasi dan merespons keinginan para operator untuk menaikkan kapasitas angkut agar tidak perlu naikkan tarifnya,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, kemarin.

Namun, ia mengakui walaupun kapasitas angkut telah ditingkatkan, jumlah penumpang belum sepenuhnya pulih. Budi mencontohkan beberapa bus dari Jakarta ke arah timur hanya diisi oleh empat penumpang. tapi, operator masih mengusulkan untuk menaikkan tarif 25-50 persen.

Jika angkutan umum menaikkan tarif, maka akan menjadi lebih sulit bagi operator angkutan umum dalam mendapatkan penumpang. Saat ini, dengan adanya pembatasan 50 persen jumlah penumpang saja, masih belum banyak yang menggunakan angkutan umum.

Baca Juga: Gak Mau Kecolongan, Kemenhub Bakal Perketat Pengawasan Jelang Idul Fitri

“Namun ini untuk bus premium, kalau ekonomi kita atur,” tegasnya.

Budi menilai, penambahan kapasitas 70 persen itu disesuaikan dengan peraturan yang ada di daerah masing-masing, yang bisa saja berbeda-beda sesuai zonanya. Untuk zona yang sudah memasuki warna kuning dan hijau sudah diperbolehkan mengangkut penumpang hingga 70 persen.

Namun, untuk daerah yang masih merah diusahakan mengangkut 50 persen atau di bawah 50 persen saja. “Di masa kenormalan baru, kami sudah membaginya dalam tiga fase. Jadi kalau di zona merah itu tidak boleh sama sekali untuk angkutan umumnya, tapi boleh dengan adanya pembatasan seperti pemberian stiker yang dilakukan,” tuturnya.

Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DkI Jakarta Safruan Sinungan melihat dari statistiknya, peningkatan penumpang pada saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga memasuki status masa transisi saat ini, hanya sekitar 10-15 persen saja.

Menurutnya, peningkatan itu mayoritas hanya terjadi pada jam-jam sibuk, seperti pagi dan sore hari. Sementara, untuk siang hari, cenderung sepi bahkan tak beda jauh dengan PSBB ketat di April hingga Mei lalu.

“Artinya, ini kondisi memang sulit tapi kan perlu ada solusi. karena ada kekhawatiran dari masyarakat, belum lagi semua aktivitas juga memang belum berjalan,” katanya.

Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan mengaku, masih memiliki permasalahan untuk melayani penumpang pasca kapasitas maksimal penumpang angkutan umum ditingkatkan menjadi 70 persen oleh pemerintah.

“Gugus tugas dan kemenhub sudah mengizinkan dengan surat keterangan sehat tetapi Puskesmas, klinik dan rumah sakit dilarang mengeluarkan surat jalan kalau tidak minimal rapid test terlebih dahulu,” katanya.

Rapid test, kata kurnia, hanya tersedia di rumah sakit tertentu dan mayoritas berada di daerah kota. Sementara itu di kabupaten dan kecamatan tidak tersedia. Ia pun mengeluhkan biaya rapid test yang berkisar antara Rp 350-900 ribu sekali tes. 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: