Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS: Pemerintah Mesti Perhatikan Perdagangan Bilateral

CIPS: Pemerintah Mesti Perhatikan Perdagangan Bilateral Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Neraca perdagangan Indonesia mengalami peningkatan kinerja pada Juni 2020 dibandingkan Mei 2020. Hal ini ditunjukkan oleh nilai ekspor yang naik 15,09% menjadi US$12,03 miliar dan nilai impor yang naik 27,56% menjadi US$10,76 miliar. Dengan begitu, neraca perdagangan tercatat surplus sebesar US$1,27 miliar.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, kinerja perdagangan Juni menunjukkan tren positif jika dibandingkan Maret 2020 saat work-from-home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diimplementasikan. Namun, pemerintah harus memulai antisipasi perdagangan bilateral yang turun cukup signifikan pada negara partner perdagangan utama.

Baca Juga: Riset CIPS: Adopsi Digital Penting bagi UMKM

Ia mencontohkan, Korea Selatan. Korea Selatan merupakan peringkat ke-7 untuk pangsa ekspor nonmigas. Namun, nilai ekspor nonmigas pada Juni 2020 mengalami penurunan sebesar 59,6% dibandingkan Mei 2020. Padahal, ekspor nonmigas menyumbang 94,79% dari total ekspor Januari-Juni 2020.

"Perbaikan perekonomian terjadi pada Juni 2020 setelah pemerintah melonggarkan kebijakan pembatasan mobilitas dan lockdown. Meski begitu, pemerintah tidak boleh lengah dalam menganalisis kinerja perdagangan berdasarkan sektor dan negara partner dagang," terang Ira dalam keterangan tertulisnya.

Pada sektoral, lanjut Ira, Indonesia masih bergantung pada kinerja nonmigas untuk mempertahankan neraca perdagangan yang imbang. Neraca perdagangan nonmigas surplus US$1,36 miliar, tetapi sektor migas masih defisit US$95,2 juta pada Juni 2020.

Ira juga berpendapat bahwa impor barang baku dan barang modal yang mengalami penurunan signifikan harus segera diantisipasi oleh pemerintah. Bahan baku berperan pada 74,37% impor Indonesia pada periode Januari–Juni 2020. Hal ini menunjukkan impor dibutuhkan industri untuk proses produksi. Barang konsumsi hanya berperan 10,13% yang berarti persentase impor barang jadi masih kecil dan didominasi oleh intermediary products yang dapat membantu perekonomian.

Pemerintah, lanjut Ira, harus fokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian. Ia memberi contoh, impor bahan baku dan barang modal turun signifikan masing-masing sebesar 15% dan 16,82% pada Januari-Juni 2020 dibandingkan Januari-Juni 2019. Ini disebabkan oleh terhambatnya proses produksi akibat Covid-19.

Akan tetapi, sebaiknya pemerintah mengantisipasi kelancaran impor sehingga kegiatan industri tidak terhambat. "Saat ekonomi mengalami krisis, ditambah proses impor yang rumit, akan mengganggu perekonomian secara keseluruhan. Sebaiknya pemerintah mempermudah proses dagang baik ekspor maupun impor apalagi selama krisis," ungkap Ira.

Saat ekonomi mengalami krisis, ditambah proses impor yang rumit, akan mengganggu perekonomian secara keseluruhan. Pada akhirnya, jelas Ira, konsumen yang harus membayar lebih akibat ketidaklancaran perdagangan. Ira menyarankan, sebaiknya pemerintah mempermudah proses dagang baik ekspor maupun impor, apalagi selama krisis, misalnya mempermudah dan mempercepat proses perizinan.

Selanjutnya, Ira juga berpendapat pemerintah harus memetakan kenapa perdagangan tidak lancar dalam analisis regional dan bilateral. Selain contoh Korea Selatan pada sisi ekspor, ia memberikan contoh pangsa impor nonmigas yg masih didominasi negara ASEAN (19,27%) dan masih kecil pada Uni Eropa (7,89%). Padahal, diversifikasi pangsa impor juga penting karena dinilai dapat meningkatkan iklim perdagangan antarnegara dan antar-regional agar lebih mempunyai resiliensi di tengah krisis.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: