Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi Minus, Pemerintah Dinilai Lelet Tangani Corona

Ekonomi Minus, Pemerintah Dinilai Lelet Tangani Corona Kredit Foto: Antara/Adeng Bustomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam, menilai pemerintah bekerja sangat lamban sehingga amunisi yang tersedia untuk mencegah resesi dan penurunan daya beli rakyat tidak optimal digunakan.

Rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan II jatuh menjadi -5,32%. Angka itu tercatat paling buruk dalam 21 tahun terakhir sejak kuartal I 1999.

Baca Juga: Ekonomi Nasional Minus 5%, Terendah dalam 21 Tahun

"Amunisi yang sudah disiapkan sangat mencukupi. Dengan anggaran stimulus Rp695,2 triliun harusnya bisa menjadi bantalan yang cukup memadai. Sayang, pemerintah tidak bekerja dengan cepat dan sigap sehingga penyerapan baru 20%. Padahal, rakyat membutuhkan pemulihan dan harapan. Ini mengecewakan," kata Ecky di Jakarta, Rabu (5/8/2020).

Pemerintah telah memiliki anggaran yang besar untuk berbagai program dan kebijakan seperti Kartu Prakerja, bansos, insentif usaha lewat berbagai pajak yang ditanggung pemerintah, penempatan dana di bank, penjaminan kredit modal kerja ke UMKM, keringanan rekening listrik bagi pelanggan industri dan sosial, dan sebagainya.

Pemerintah juga telah menempatkan dana di bank anggota Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) senilai Rp30 triliun dengan harapan tersalur menjadi kredit senilai minimal Rp90 triliun. Penempatan ditindaklanjuti ke Bank Pembangunan Daerah (BPD). Untuk tahap awal, ditempatkan di 7 BPD senilai Rp11,5 triliun dengan harapan dapat mendorong ekspansi kredit dua kali lipat.

"Eksekusi dan realisasi yang lamban telah mereduksi fungsi stimulus yang seharusnya akan lebih optimal ketika dieksekusi cepat. Beberapa indikasi pelemahan daya beli dan resesi harusnya tidak terlalu dalam jika pelaksanaan program berjalan cepat. Pemerintah harus bekerja lebih ekstra karena ini menyangkut kondisi ekonomi, harapan, dan kesejahteraan rakyat secara luas," imbuhnya.

Ecky mencermati, angka deflasi 0,1% selama bulan Juli 2020 yang dinilai oleh banyak ekonom sebagai ambruknya daya beli rakyat. Hasil survei terbaru Nielsen juga menunjukkan bahwa Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Indonesia pada kuartal II/2020 menurun drastis dengan skor indeks 102 poin persentase (pp), turun 25 dibandingkan dengan kuartal I/2020.

"Daya beli yang turun harusnya bisa diredam dengan realisasi berbagai program dan jaring pengaman sosial yang cepat. Ekspektasi masyarakat yang turun drastis juga karena tingkat keyakinan pada kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya yang rendah. Masyarakat belum melihat bahwa kebijakan dan cara kerja pemerintah meyakinkan untuk dapat menangani pandemi dan memulihkan ekonomi," jelas Ecky.

Hal ini menurutnya menimbulkan kecemasan yang meluas. Akhirnya, banyak yang menahan diri tidak belanja, terindikasi dari meningkatnya simpanan di perbankan dan angka deflasi

"Pemerintah harus menunjukkan kepemimpinannya di masa pandemi dengan membawa optimisme dan harapan. Ini yang harus cepat dibenahi," pungkasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: