Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bikin Tenang, UU Penyiaran Ternyata Tak Membatasi Ekspresi Publik

Bikin Tenang, UU Penyiaran Ternyata Tak Membatasi Ekspresi Publik Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sidang yang disampaikan oleh Humas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/8/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, bahwa Pemerintah berpendapat permohonan dianggap sebagai penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran akan menimbulkan subjek dan objek hukum baru dalam penyelenggaraan penyiaran.

Pakar Kebijakan dan Legislasi Teknologi Informasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Danrivanto Budhijanto, mengataakan jika nampaknya pendapat Pemerintah dimaksud lebih kepada pemahaman norma legislasi redaksional, padahal tujuan pembentukan UU Penyiaran pada tahun 1999 sudah memuat terminologi “internet”.

“UU Penyiaran dinyatakan disusun untuk mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya penyelenggaraan di bidang penyiaran seperti internet,” katanya.

Baca Juga: KPI Sebut Uji Materi UU Penyiaran Bukan Mengebiri Kreativitas

Ia menjelaskan bahwa dalam pemahaman teori hukum progresif dan konstruksi hukum konvergensi, pemaknaan mengenai definisi penyiaran dengan memuat penyiaran menggunakan internet bukanlah menambah subyek hukum baru, melainkan hanya memuat pemaknaan/artikulasi konstitusional terhadap legislasi eksisting yaitu penyiaran menggunakan internet, sehingga sejatinya tidak akan menimbulkan komplikasi dengan pasal-pasal lainnya di UU Penyiaran, sambung Danrivanto.

“Tentu Para Pemohon sudah sangat paham bahwa MK punya keterbatasan yaitu MK tidak memposisikan sebagai positive legislator. MK dalam sistem legislasi di Indonesia memerankan sebagai negative legislator yang tidak bisa menciptakan norma baru, tapi MK hanya terbatas pada pemaknaan frasa dari norma legislasi yang diartikulasi secara konstitusional,” tambah Danrivanto.

Sehingga lanjut Danrivanto sangat tidak logis Para Pemohon mengajukan pengujian ke MK secara sembrono dan memunculkan norma baru sehingga ujungnya membatalkan seluruh isi pasal dari UU Penyiaran, apalagi sampai memberangus kebebasan ekspresi publik. Danrivanto menegaskan bahwa tujuan pembentukan UU Penyiaran yang utama adalah harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.

“Kekuatiran teman-teman insan kreatif atau publik yang biasa melakukan tayang lansung (live) di platform media sosial/penyiaran akan dikekang atau disanksi karena tidak berizin bukanlah tujuan dari Permohonan ke MK,” ucapnya.

Baca Juga: Era Digital, Roy Suryo: Perlu Ada UU Penyiaran Baru!

Karena yang akan diwajibkan memiliki izin penyelenggaraan siaran melalui internet jika permohonan dikabulkan oleh MK adalah hanya untuk korporasi yang selama ini telah melakukan eksploitasi digital dan data di Indonesia.

“Pemaknaan legislasi terhadap penyiaran melalui internet merupakan implementasi satu dari Panca Fungsi Hukum yaitu fungsi Stabilitatif bahwa UU Penyiaran mesti berfungsi sebagai pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam kemajuan teknologi,” tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: