Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Alumni GMNI: Lawan Ideologi Transnasional dengan Kerja Konkret

Alumni GMNI: Lawan Ideologi Transnasional dengan Kerja Konkret Kredit Foto: MPR
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Umum DPP Persatuan Alumni GMNI (2015-2020) yang juga menjabat Wakil Ketua MPR RI,  Dr. Ahmad Basarah, menegaskan bahwa untuk melawan ideologi transnasional yang saat ini berkembang di Indonesia diperlukan kerja konkret di segala bidang, mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, sampai bidang budaya.

Jika nasionalisme dan sistem demokrasi yang sekarang dianut bangsa Indonesia tidak membuahkan hasil nyata yang menyejahterakan apalagi membahagiakan rakyat, dikhawatirkan rakyat akan menoleh pada ideologi lain sebagai alternatif, misalnya ideologi transnasional yang mengusung konsep negara khilafah.

Baca Juga: MPR: Majelis Syuro Dunia Sejalan dengan Amanat Pembukaan UUD

"Jika nilai-nilai Pancasila diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kita membuat kampung-kampung tangguh yang di dalamnya terdapat gotong royong saat bangsa ini menghadapi pandemi Covid-19, rakyat akan merasakan langsung manfaat gotong royong yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Inilah yang saya maksud salah satu bentuk kerja konkretnya," kata Ahmad Basarah saat membuka sekaligus memberi kata sambutan dalam Rakernas Persatuan Alumni GMNI di Jakarta, Sabtu (29/8/2020).

Jika hal tersebut dirasakan banyak masyarakat, lanjutnya, mereka tak akan lagi tertarik pada ideologi lain termasuk transnasionalisme yang dikampanyekan para pengusung paham negara khilafah.

Tampil juga sebagai pembicara dalam Rakernas yang berlangsung sejak 29–30 Agustus 2020 itu antara lain Wakil Ketua BPIP-Prof. Dr. Haryono, Kepala BPHN Kemenkumham-Prof. Dr. HR Benny Riyanto, Hakim Mahkamah Konstitusi-Prof. Dr. Arief Hidayat, serta Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember-Dr. Bayu Dwi Anggono.

Menurut Ahmad Basarah, jika bangsa Indonesia pandai menjaga memori mereka tentang sejarah bangsa, sesungguhnya tak ada alasan lain buat mereka untuk lari dari Pancasila sebagai ideologi bangsa. Menurut catatan sejarah di Tanah Air, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesungguhnya sudah tumbuh dan mengakar di tengah nenek moyang bangsa Indonesia jauh sebelum Pancasila sebagai ideologi dilahirkan pada 1 Juni 1945.

"Karena itu, faktor penting yang harus diperhatikan dan dijaga oleh suatu bangsa dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara mereka dari kehancuran adalah menjaga sejarah bangsa itu sendiri.  Kaburnya sejarah suatu bangsa dan suatu negara akan menghancurkan bangsa dan negara itu sendiri," tegas Sekretaris Jenderal GMNI periode 1996–1999 itu.

Untuk memperkuat argumentasinya, Ahmad Basarah mengutip Sun Tzu yang menyebutkan bahwa untuk mengalahkan bangsa yang besar tidak perlu dengan mengirim pasukan perang yang besar, tapi cukup dengan menghapus pengetahuan mereka atas sejarah kejayaan leluhur mereka.

"Jika suatu bangsa melupakan sejarah berdirinya negara mereka sendiri, tak akan lama, bangsa dan negara itu akan mengalami kehancuran," tegasnya.

Ketua DPP PDI Perjuangan itu menambahkan, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk melemahkan sekaligus menjajah suatu negeri. Pertama, dengan mengaburkan sejarah bangsa itu sendiri. Kedua, dengan menghancurkan bukti-bukti sejarah bangsa. Ketiga, memutuskan hubungan mereka dengan para leluhur dengan mengatakan bahwa leluhur mereka bodoh dan primitif.

"Soal menjaga dan merawat sejarah bangsa ini penting dilakukan oleh kaum nasionalis yang aktif di GMNI. Mereka tak boleh berhenti mengkaji sejarah bangsa sendiri sebagai bentuk menjaga kewaspadaan nasional demi keutuhan NKRI yang kita cintai," tegas Ahmad Basarah.

Senada dengan Ahmad Basarah, Prof. Dr. HR Benny Riyanto mengatakan, memori kolektif bangsa tentang sejarah Pancasila harus terus dihidup. Kerja besar ini penting, kata dia, karena dalam suasana politik yang normal seperti saat ini saja sulit sekali mengajukan perundang-undangan yang bermuatan Pancasila untuk diterima. Apalagi, jika dalam waktu 20–30 tahun mendatang ketika generasi milenial yang sekarang masih remaja menjadi para pejabat dan penentu kebijakan di negeri ini.

"Generasi milenial pasti lebih jauh lagi jaraknya dengan masa-masa kelahiran Pancasila. Jika kepada mereka tidak diingatkan tentang sejarah bangsa, tentang sejarah Pancasila, sangat mungkin Pancasila akan menjadi masa lalu," tandas Benny.

Di bagian lain, Hakim MK Prof Arief Hidayat yang juga menjadi salah satu pembicara menyampaikan pentingnya mempertahankan ideologi bangsa dengan memanfaatkan media sosial sebagai arsenal baru.

"Kita isi ruang-ruang publik media sosial dengan narasi ideologi, nilai dan konten Pancasila, konten toleransi, konten kebhinnekaan. Kita harus menjadi influencer yang menyebarluaskan ajaran Soekarno agar ajaran proklamator bangsa ini menarik untuk lintas generasi," ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2015-2018 ini.

Rakernas PA-GMNI ini mengusung tema "Posisi Alumni GMNI Dalam Menghadapi Tantangan Pancasila di Tengah Ancaman Ideologi Trans-Nasional". Sebagian peserta mengikuti acara ini secara daring dari dalam dan luar negeri dan dari 34 Pengurus Daerah Persatuan Alumni GMNI di Indonesia, sebagian lain hadir secara fisik. Tampak hadir anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang juga Mantan Gubernur Jawa Timur Dr. Soekarwo, juga senior PNI Waluyo Martosugito dan pengusaha nasional Moerdaya Po.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: