Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sawit dan Masyarakat Adat: Tak Perlu Dipertentangkan, Justru Berdampingan

Sawit dan Masyarakat Adat: Tak Perlu Dipertentangkan, Justru Berdampingan Kredit Foto: Antara/FB Anggoro
Warta Ekonomi, Jakarta -

Setiap keunggulan dan potensi yang dimiliki kelapa sawit, pihak antisawit sering kali memanfaatkannya sebagai celah untuk menebarkan kebencian terhadap perkebunan sawit. Di 26 provinsi sentra sawit di Indonesia, keberadaan kelapa sawit tidak dapat dipisahkan dari sejumlah kelompok masyarakat lokal termasuk masyarakat adat.

Ketua Borneo Forum, Totok Dewanto, mengatakan, "Masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu dipertentangkan karena perkebunan itu bertujuan menyejahterakan dan sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit juga dimiliki oleh masyarakat termasuk masyarakat adat."

Baca Juga: Tak Hanya Nasional, Sawit Juga Diperhatikan Lembaga Internasional

Berkaitan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat, tak dapat dimungkiri bahwa perundangan tersebut berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Hal tersebut disebabkan mayoritas lahan yang diklaim sebagai wilayah adat juga diklaim sebagai kawasan hutan oleh KLHK.

Kondisi ini tentunya makin menimbulkan timpang tindih status lahan antara perusahaan atau pemerintah dengan masyarakat adat. Kendati demikian, pelaku usaha perkebunan sebaiknya tidak perlu khawatir terhadap adanya klaim sekelompok masyarakat adat terkait kepemilikan lahan apabila memiliki legalitas lahan sesuai perundang-undangan seperti Izin Usaha Perkebunan, HGU, dan perizinan lainnya.

Wakil Menteri ATR/BPN, Dr. Surya Tjandra, menyebutkan bahwa pemerintahan Joko Widodo memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan sawit berkelanjutan dengan menerbitkan peraturan antara lain Inpres No. 8/2018, Inpres No. 6/2019, dan Perpres No. 44/2020. Dengan luasnya dampak dan manfaat dari industri kelapa sawit bagi Indonesia, keberadaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan kelapa sawit merupakan suatu kenyataan yang harus menjadi bagian dari pengembangan praktik berkelanjutan.

Lebih lanjut Surya mengatakan, "Harus diakui, kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dan tinggi produktivitas sampai sekarang. Dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit, harus ada perubahan perspektif tidak sebatas melihat masalah, tapi temukan solusi karena sawit juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Di sisi lain, perlu penyediaan ruang hidup bagi masyarakat adat yang proporsional dan berkekuatan hukum."

Menyepakati hal tersebut, Dosen IPB University, Sudarsono Soedomo, Ph.D mengemukakan bahwa kelapa sawit dan masyarakat adat sebaiknya tidak perlu dipertentangkan karena masyarakat adat tidak ingin ada konflik dengan siapa pun, termasuk dengan pengembang kebun sawit. Justru sebaliknya, banyak pula masyarakat adat yang menjadi bagian dalam pengembangan kebun sawit.

Terkait persoalan hutan adat dan perkebunan, itu terjadi akibat ketidakjelasan regulasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kontribusi dari semua pihak termasuk pemerintah daerah dan Kementerian ATR/BPN, tidak hanya Kementerian LHK.

Tak tinggal diam, Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono, menyebutkan, tantangan yang dihadapi industri sawit kian berat lantaran dihadang beragam isu sosial seperti tenaga kerja, hak asasi manusia, dan masyarakat adat. Untuk itu, pemerintah diharapkan membuat kepastian bagi investasi melalui implementasi regulasi.

"Karena isu sosial terus digerakkan dengan isu masyarakat adat lalu klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan, kebun yang usianya sudah mencapai ratusan tahun diklaim punya masyarakat adat," jelasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: