Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Usulan HJE 100%, Akal-akalan Produsen dari Amerika untuk Kurangi Persaingan?

Usulan HJE 100%, Akal-akalan Produsen dari Amerika untuk Kurangi Persaingan? Kredit Foto: Antara/Saiful Bahri
Warta Ekonomi, Jakarta -

Saat ini perhatian pelaku industri hasil tembakau (IHT) di Tanah Air tertuju ke Kementerian Keuangan. Para pengusaha IHT, khususnya rokok, menanti aturan Kementerian Keuangan menyangkut besarnya tarif cukai yang akan dikenakan kepada industri tahun depan (2021). Namun, belum lagi PMK termutakhir dirilis, sebuah usulan ambigu dari satu produsen rokok dari Amerika Serikat agar Pemerintah menetapkan harga transaksi pasar (HTP) secara penuh (100% dari harga banderol), tidak lagi 85% dari harga yang tertera pada banderol. 

Penetapan HTP 85% dari harga banderol itu tertuang dalam Aturan Dirjen Bea dan Cukai No. 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif CHT. Bila harga di banderol, misalnya, Rp10.000, produsen diperkenankan menjual senilai Rp8.500 per bungkus (HTP). Pengaturan floor price tadi memiliki latar belakang tersendiri.  Baca Juga: BPOM AS: Regulasi Produk Tembakau Alternatif Perlu Berbasis Sains

Pertama, aturan tersebut merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi. Pengaturan ini mencegah pembelian rokok oleh anak-anak di bawah umur. Pengusaha diatur sedemikian rupa sehingga tidak berlomba-lomba menjual produknya dengan harga semurah mungkin (predatory pricing). Selanjutnya, pengaturan HJE 85% ini dibuat untuk menjaga persaingan yang sehat serta memberikan perlindungan terhadap industri kecil dan menengah.

Usulan menghilangkan floor price tersebut mencuat karena diduga ada banyak pelanggaran atas aturan tadi. Banyak produsen diduga menjual produknya di bawah ketentuan floor price tadi. Akibat praktek tersebut, Negara dirugikan hingga Rp2,6 Trilyun karena adanya “diskon” yang diberikan oleh Ditjen Bea dan Cukai.

Sunaryo, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC), menolak pernyataan bahwa Negara dirugikan. Ia juga menampik pendapat yang menyudutkan DJBC, yang seakan-akan memberikan diskon kepada produsen rokok. Baca Juga: Simplifikasi Tarif Cukai Hasil Tembakau Bisa Matikan Petani!

Penerapan floor price tersebut, menurut Sunaryo, tidak mempengaruhi penerimaan Negara sama sekali karena pengusaha rokok membayar cukai mereka dalam jumlah rupiah per batang, dan selalu dibayarkan di depan. Lebih jauh Sunaryo mengatakan bahwa, penetapan floor price juga tidak memberikan efek apapun kepada penerimaan pajak rokok karena pajak rokok dibayar 10% dari cukai rokok tersebut. Aturan itu juga tidak akan mempengaruhi penerimaan Negara terhadap PPn hasil tembakau (HT) karena pengenaan PPn HT ditentukan berdasarkan HJE Banderol. 

Sulami Bahar, Ketua Gapero (Gabungan Perusahaan Rokok) Surabaya, menilai kebijakan HJE 85% ini sudah tepat dan tidak perlu lagi diubah-ubah. Menurut Sulami, tidak ada perusahaan rokok yang bisa menetapkan harga jual ke konsumen hingga 100% dari HJE mempertimbangkan kenaikan cukai tinggi di tahun 2020. “Perusahaan rokok besar saja banyak yang menetapkan harga 85%,” katanya dalam keterangannya, Rabu (7/10/2020).

Penetapan HJE 85% ini, dalam pandangan Sulami, tidak akan membuat Negara rugi. “Yang ada malah pengusaha yang memperoleh beban tambahan karena mereka membayar cukai secara penuh namun menjual produk mereka 85% dari HJE (lebih rendah),” katanya. Kalau ada pihak yang mendorong penetapan HJE 100%, menurut Sulami, kemungkinan besar berkaitan dengan kemampuan pihak tersebut dalam mempertahankan pangsa pasarnya. “Dia tidak mau kehilangan pasar, sekaligus berupaya untuk mengurangi persaingan dengan merek lain,” katanya. 

Menurut Dr. Satriya Wibawa, peneliti Universitas Padjajaran, ketentuan floor price tadi bersifat non budgeter, yang berkaitan dengan urusan pengendalian. Cukai, lanjut Satriya, memiliki dua sifat yakni, non budgeter dan budgeter (berkaitan dengan besarnya penerimaan negara). Apabila floor price tadi ditiadakan (dibuat 100%), maka dampaknya akan dirasakan oleh petani dan tentu saja industri. 

Serapan tembakau petani akan berkurang dan industri akan memutar otak untuk menghasilkan produk yang mampu diserap pasar. Karena yang mampu bertahan adalah produsen yang memiliki kemampuan keuangan yang besar, Satriya mewanti-wanti timbulnya kemungkinan hanya akan ada satu pemain saja nantinya. 

“Jelas akan tercipta (pasar yang) monopolistis, bahkan sebetulnya saat ini oligopoli sudah terjadi,” katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: