Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Komunikasi Publik: Narasi Tunggal Ala Jazz!

Oleh: Agung Laksamana, Ketua Public Affairs Forum Indonesia & Dewan Kehormatan Perhumas

Komunikasi Publik: Narasi Tunggal Ala Jazz! Kredit Foto: Perhumas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Apakah Anda menyukai musik jazz? Jika Anda dengarkan secara seksama, petikan gitar, ketukan drum, bass dan piano, serta alunan saxophone terkadang terasa tidak sama. Itulah jazz! Para musisi bermain instrumen musik dengan improvisasi.

Namun jika Anda simak lebih dalam, ada kesamaan nada di sana. Ada harmonisasi melodi di situ. Para musisi Jazz memainkan sebuah partitur lagu dengan judul yang sama, namun dengan interpretasi alat musik mereka masing-masing. Berbeda cara, tetapi dengan satu komposisi agenda yang sama. Inilah Jazz!

Dalam era disrupsi ini, gaya musik ala jazz itulah yang seharusnya diambil dalam optimalisasi komunikasi publik saat ini. Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintahan. Tujuannya, agar anggota kabinet menjadi satu suara.

"Kan, sering ada perbedaan pandangan. Pernyataan menteri A berbeda dengan menteri B. Kami ingin menghindari, jangan menteri tiba-tiba bicara tidak sesuai kebijakan menteri lain agar masyarakat tak bingung," jelas mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2017 silam.

Inpres ini juga mengatur perbedaan pandangan terkait sebuah rancangan kebijakan yang harus diselesaikan dalam rapat internal. Ketika kebijakan belum ditetapkan maka menteri tidak boleh menyampaikan kepada publik.

Ternyata, implementasi tidaklah segampang itu. Minggu lalu, Presiden Jokowi sudah beberapa kali menegur buruknya kualitas Komunikasi Publik terkait UU Cipta Kerja yang menjadi polemik di masyarakat, bahkan terjadi unjuk rasa. Timbul pertanyaannya lainnya, siapa yang harus bicara? Juru bicara presiden-kah? Menkominfo, Mensesneg, atau para menteri di sektornya?

Tantangan komunikasi publik ini memang tengah terjadi di pemerintahan saat ini. Kementerian yang satu dan lainnya kerap tak sependapat, bahkan saling bertolak belakang. Bahkan, kondisi itu semakin menjadi-jadi karena awak media mempunyai bahan yang menarik sebagai berita. Dan, para menteri menjadikan media sebagai corong dalam berkomunikasi sekaligus berdebat. Perlulah kita pahami bahwa di era digital ini, publik adalah media! Dan kita adalah para jurnalisnya.

Outcomes dari komunikasi publik atas sosialisasi kebijakan haruslah sampai kepada masyarakat hingga terjadi perubahan sikap. Jika tidak, agenda program dan konten pesan selain tidak efektif akan hanya menjadi noises.

Saya percaya bahwa pemerintah atau perusahaan memiliki prinsip esensi yang sama dalam berkomunikasi. Baiklah, mungkin terkesan simplistik. Namun, ini bisa dilakukan secara kolaboratif dan proaktif.

Dalam perspektif komunikasi, layaknya korporasi, idealnya kebijakan publik perlu peran strategis komunikasi internal. Seperti kita ketahui, dalam perusahaan, divisi ini memastikan suara yang keluar, dari CEO, direksi, atau karyawan dari divisi mana pun, harus mencapai visi-misi serta tujuan yang sama. Dalam konteks jazz tadi, sang dirigen dan musisi mempunyai partitur musik yang sama.

Kenapa ini penting? Sekitar tahun 1962, Presiden John F Kennedy pernah berkunjung ke NASA di Houston. Bertemu dengan para astoronot dan staff. Secara tidak sengaja Presiden Kennedy bertemu seorang janitor. Presiden bertanya, apa yang ia kerjakan di sini? Si janitor menjawab bangga, "well Mr President I am helping to put a man on the moon! Saya membantu untuk mendaratkan manusia ke Bulan!"

Ini luar biasa! Narasi NASA bisa dipahami sampai ke level bawah sekalipun. Bisa Anda bayangkan, jika semua orang paham visi misi serta arah tujuan bangsa ini.

Misalnya saja, apa jadinya jika seorang direksi keuangan karena alasan efisiensi mengatakan perusahaan harus memotong budget pemasaran? Namun, di satu sisi, sang direktur pemasaran yang tidak suka bujetnya dipotong mengatakan promosi harus tetap dilakukan, bahkan dinaikkan.

Ucapan yang saling bertolak belakang ini berdampak buruk bagi para pemangku kepentingan, khususnya pemegang saham. Sehingga kondisi ini membuat investor bingung dan melepas kepemilikan sahamnya atas informasi yang sebenarnya bisa diselesaikan secara internal. Dalam ranah perusahaan, kebingungan "mungkin" hanya terjadi pada sebagian stakeholder saja.

Namun, dalam ranah negara, dampak dari ketidaksamaan visi dan misi itu akan berdampak besar. Masyarakat menjadi bingung, bertanya-tanya, dan meragukan kesolidan pemerintah.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi pun benar adanya. Harapannya, mentalitas silo dan ego-sentris yang kerap menjadi dinding pemisah antara kementerian yang satu dan lainnya dapat dihapus.

Selain itu, komunikasi publik tidaklah bisa top-down semata, namun juga mendengar aspirasi dari bawah serta mencari sosok influencers dan opinion leaders yang merasakan dampak positif dari kebijakan tersebut. Biarkanlah mereka yang berbicara di dalam komunitas-komunitasnya.

Sekali lagi, marilah kita mengamati musisi jazz. Meskipun masing-masing personel memiliki cara yang berbeda memainkan instrumen musiknya, mereka tetap memiliki harmoni. Kuncinya ada di mana? Sang maestro dirigen harus miliki pengalaman kuat dengan partitur musik yang menarik.

Pada ahirnya, meskipun memiliki cara yang berbeda dalam penyampaian, kementerian, apapun sektornya, harus memiliki konsistensi komunikasi publik dengan agenda, narasi, serta platform agar mencapai harmonisasi arah tujuan. Dan yang paling penting lagunya haruslah... Indonesia Raya!

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: