Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Trump Masih 'Goreng' Isu Etnis di Kampanye Pilpres, Malah Gak Laku!

Trump Masih 'Goreng' Isu Etnis di Kampanye Pilpres, Malah Gak Laku! Kredit Foto: Antara/REUTERS/Carlos Barria
Warta Ekonomi, Jakarta -

Empat tahun setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) terakhir di Amerika Serikat (AS) tampaknya telah mengubah pola pikir pemilih setempat.

Taktik mengekploitasi perbedaan ras dan etnis bangsa yang biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tak lagi berpengaruh signifikan pada para pemilih. Padahal, hal tersebut jadi jualan Trump pada 2016 untuk menang melawan Hillary Clinton.

Menjelang Pilpres AS 3 November mendatang, survei hingga prediksi makin banyak berseliweran di media. Tentang siapa nantinya yang jadi Presiden AS ke-46. Petahana dari kubu Republik, Presiden Donald Trump, atau saingannya dari Demokrat, Joe Biden.

Baca Juga: Berapi-api, Trump: Amerika Berdiri Bersama Prancis dalam Pertarungan Ini!

Baca Juga: Erdogan: Kami adalah Turki dan Tidak Takut Sanksi Amerika Serikat

Ini terlihat dari analisis hasil jajak pendapat pra Pilpres AS, ada pergeseran minat pemilih kepada petahana; ada kesenjangan preferensi suara presiden antara pemilih kulit putih dan non kulit putih.

“Presentasenya mengejutkan, menyusut 16 poin (dari 2016). Ini karena, Joe Biden memperoleh keuntungan di antara pemilih kulit putih dan Presiden Donald Trump membuat terobosan di antara pemilih kulit hitam dan Hispanik,” ucap sumber yang dikutip dari The New York Times.

Jualan Trump soal imigrasi dan ras tertentu kali ini tidak memiliki efek yang sama dengan empat tahun lalu. Respons para pemilih pun tak seperti yang diharapkan.

Kondisi ini juga bertentangan dengan penilaian banyak analis yang percaya, bahwa kampanye yang berfokus pada isu-isu seperti kerusuhan rasial Black Lives Matter atau hukum akan memenangkan Pilpres.

Selain itu, meski tetap mengusung slogan kampanye Make America Great Again, pemilih kulit putih yang dulunya Trump banget (74) tak tergugah lagi. Mereka umumnya kini bergeser memilih Biden (77).

Sejauh ini, Trump gagal mengumpulkan kembali koalisi pemilih kulit putih tanpa gelar sarjana di seluruh negara bagian di medan pertempuran Utara. Sebaliknya, Biden memimpin karena perolehan suara di antara para pemilih itu.

Trish Thompson (69) pendukung Republik kulit putih yang bekerja sebagai penjaga keamanan untuk pipa dan lahan fracking di Brownsville, Texas, memilih Trump pada 2016. Tahun ini, dia akan memilih Biden, karena kecewa dengan cara Trump menangani pandemi Covid-19, perilaku misoginis dan ketidakmampuannya mengakui diskriminasi rasial.

Meski banyak yang menyeberang ke Biden, secara keseluruhan, Trump masih memimpin 5 poin dalam survei yang dilakukan sejak Konvensi Nasional Partai Republik pada Agustus. Namun angka tersebut merosot, dibanding survei di kurun waktu yang sama pada 2016 dengan keunggulan 13 poin.

Di kalangan pemilih kulit putih tanpa gelar, Trump masih memimpin 21 poin. Meskipun angka tersebut merosot dari 2016 yang men- capai 29 poin. Mereka bergeser ke Biden. Baik wanita kulit putih, juga pemilih kelas pekerja kulit putih di seluruh negara bagian di medan pertempuran Utara yang mewakili kekuatan kunci dalam Pilpres empat tahun lalu.

Sedangkan kulit putih lulusan perguruan tinggi mendukung Biden dengan 21 poin. Perolehan kubu Demokrat ini naik 13 poin dari jajak pendapat empat tahun lalu ketika Hillary Clinton menjadi capres Demokrat.

Senada dengan survei nasional Times/Siena, Biden memimpin atas Trump sebanyak 7 poin, berkaitan tentang siapa yang akan melakukan pekerjaan lebih baik di bidang “hukum dan ketertiban”. Sebab, pemilih kulit putih sangat tidak setuju dengan cara Trump menangani unjuk rasa protes setelah kematian George Floyd, warga Afrika-Amerika.

Selain itu, pengusaha real estate itu gagal dalam jajak pendapat Times/Siena di Wis- consin dan Minnesota. Padahal timnya yakin, kerusuhan di Kenosha dan Minneapolis dapat menguntungkan presiden.

Temuan survei itu menjelaskan, kelemahan presiden di antara pemilih kulit putih telah mengikis keunggulannya secara struktural tradisional partai di Electoral College, DPR dan Senat. Hal ini membahayakan cengkeraman Partai Republik di tingkat distrik dan negara bagian, yang sangat berkulit putih di mana biasanya Demokrat tidak memiliki banyak kesempatan mendapat suara, seperti di Kansas atau Montana.

Biden cenderung memperoleh keuntungan terbesarnya di bagian Utara, tempat Trump memperoleh kemenangan terbe- sarnya empat tahun lalu. Sebaliknya, Trump menguat di Selatan. Di wilayah Sun Belt itu, lebih dari 95 persen ingin memberi Trump kesempatan yang lebih baik untuk mengatasi perubahan demografis di wilayah tersebut.

Sun Belt adalah wilayah di Amerika Serikat yang membentang di selatan dan barat seperti Florida, California dan Texas. Ini mengejutkan, pemilih non kulit putih yang biasanya Demokrat bergeser perlahan ke Trump. Sehingga Demokrat kehilangan 9 poin. Tercatat, Biden masih unggul 42 persen.

Namun, pemilih kulit putih melebihi jumlah pemilih nonkulit putih, 2 dibanding satu. Tersebar di wilayah swing states, medan pertempuran capres.

US Census Bureau pada 2019 melaporkan, populasi AS terdiri atas 60,1 persen kulit putih, 18,5 persen Hispanik dan Latino, 13,4 persen kulit hitam atau ketu- runan Afrika, 5,9 persen Asia, dan 5,3 persen ras asli benua Amerika dan ras lainnya.

Berdasarkan kompilasi pemungutan suara jangka panjang sejak Juni, perolehan Trump mencakup pemilih kulit hitam dan Latin. Sur- vei Times/Siena sejak September juga menunjukkan, kekuatan suami Melania ini sangat signifikan di antara pemilih Hispanik.

“Kekuatan presiden di antara pemilih non kulit putih semakin penting membantunya melawan kekurangan suara dari pemilih kulit putih di negara bagian penting Florida dan di medan pertempuran Sun Belt lainnya. Termasuk Nevada, yang dimenangkan Clinton empat tahun lalu,” ungkap survei.

Dalam pemungutan suara pada September, pemilih non kulit putih membagi isu mana yang lebih penting dalam pilpres, apakah “hukum dan ketertiban” atau Virus Corona. Para pemilih non kulit putih berharap, Trump akan bekerja lebih baik dalam menangani “hukum dan ketertiban” daripada Biden.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Tanayastri Dini Isna

Bagikan Artikel: