Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Memandang Sawit dalam Konteks Politik Pangan dan Energi Global

Memandang Sawit dalam Konteks Politik Pangan dan Energi Global Kredit Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hingga saat ini, persoalan politik pangan dan energi global masih banyak diadopsi oleh negara adidaya. Hampir setiap negara dunia modern ini mengendalikan dan mengelola ketahanan pangan dan energi secara at all cost.

Salah satu kekuatan adidaya Amerika Serikat selama ini yakni kemampuanya dalam mengendalikan pangan dan energi dunia. Kondisi ini secara tidak langsung diilhami dari pandangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat periode 1973–1977, Henry Kissinger, yang pernah mengatakan, "Siapa yang menguasai pangan, akan kuasai rakyat dan siapa menguasai energi, kuasai bangsa-bangsa." 

Baca Juga: Saking Kompetitifnya, Sawit Jadi Korban Kelicikan Uni Eropa

Melihat kondisi tersebut, dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, "Sawit jelas bukan lagi sekadar komoditas ekonomi saja, melainkan secara evolusioner sedang berubah menjadi produk yang bernilai ekonomi sekaligus bernilai politik. Sawit sedang memasuki era baru, yakni era di mana sawit sudah bagian dari politik pangan dan energi global."

Lantas pertanyaannya: mengapa demikian? Mengutip laporan PASPI Monitor, berikut empat alasan sawit selayaknya ditempatkan dalam konteks politik pangan dan energi global.

Pertama, sawit menghasilkan bahan pangan (oleofoods) dan energi (biofuel) bahkan juga biomaterial, yang dihasilkan secara joint product dari kebun sawit. Produktivitas minyak dan biomassa kebun sawit tertinggi dibandingkan tanaman biofuel lainnya yang ada di bumi ini.

Kedua, konsumsi minyak sawit sebagai bahan pangan (oleofood) telah melibatkan hampir seluruh masyarakat dunia. Konsumsi minyak sawit ini tidak hanya dalam bentuk minyak goreng dan margarin, tetapi yang jauh lebih besar dan meluas, yakni penggunaan minyak sawit dalam industri makanan global. Diperkirakan sekitar 70 persen industri pangan global telah menggunakan minyak sawit.

Ketiga, minyak sawit, sebagai bahan baku biofuel lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable energy) dan harganya lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Dari minyak dan biomassa sawit dapat dihasilkan biodiesel dan green diesel, green gasoline, green avtur, bioetanol, biobutanol, bio-propanol, biogas, dan lain-lain.

Keempat, tahun 2050 diperkirakan kebutuhan minyak nabati global untuk bahan pangan (oleofood) akan naik setidaknya dua kali lipat. Kenaikan tersebut terutama berasal dari China, India, dan Indonesia (60 persen penduduk dunia) yang konsumsinya juga diperkirakan naik 2 kali lipat akibat peningkatan jumlah penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun pertumbuhan ekonomi.

"Pandangan Henry Kissinger 50 tahun lalu tersebut di atas masih tetap relevan baik saat ini maupun ke depan. Hal yang baru adalah sawit sedang naik pentas politik pangan dan energi global dan diperkirakan akan makin menguat ke depan," seperti dilansir dalam laporan PASPI Monitor.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: