Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories X Sunil Tolani: Mau Sukses, Tapi Gak Siap Sukses

KOL Stories X Sunil Tolani: Mau Sukses, Tapi Gak Siap Sukses Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meraih kesuksesan menjadi harapan banyak orang. Menjadi seorang yang sukses berarti memiliki kehidupan yang sejahtera, mapan, dan sudah siap menghadapi dinamika yang akan terjadi. Kesuksesan selalu diibaratkan dengan kepemilikan materi yang berlebih, sehingga bisa mendapatkan apa saja yang kita mau.

Kebanyakan orang bermimpi bisa mendapatkan kesuksesan. Hal itu juga berlaku pada generasi milenial yang saat ini dinilai memainkan peranan penting dalam roda perekonomian bangsa. Namun, banyak orang yang terjebak dalam kondisi psikologis yang menganggap dirinya sudah meraih "sukses", padahal belum sama sekali melangkah ke puncak kesuksesan. 

Selain itu, banyak orang juga ingin mendapatkan kesuksesan dalam waktu singkat, namun tidak dibarengi dengan kerja keras serta effort yang lebih. Jadi, bagaimana caranya untuk bisa meraih kesuksesan serta diimbangi dengan persiapan yang matang dalam meraih sukses?

Baca Juga: KOL Stories x Yohanes G Pauly: Membangun Bisnis Sukses Profitable and Auto Pilot

Pada kesempatan ini, Warta Ekonomi melalui program Key Opinion Leader (KOL) Stories akan membahas topik bagaimana caranya generasi milenial bisa mendapatkan kesuksesan melalui mindset yang layak agar bisa menjadi sukses.

Berikut adalah ringkasan wawancara dengan Sunil Tolani bersama jurnalis Warta Ekonomi, Annisa Nurfitriani yang berjudul Mind Hacking: Mau Sukses, Tapi Gak Siap Sukses.

Bagaimana tanggapan Bapak terhadap cara pandang generasi milenial di Indonesia dalam memandang pencapaian kesuksesan?

Dalam perspektif saya, terdapat dua angle dalam memandang sukses. Secara global, cara dalam memandang kesuksesan dibagi beberapa macam, seperti work & life balance yang mencapai 15-16 persen, dan opportunity yang dinilai sebagai sesuatu yang progresif sekitar 40 persen. Di luar itu terdapat aspek flexibility yaitu menjalani hidup atau bekerja secara fleksibel. 

Tapi, yang menjadi masalah adalah mindset sukses secara lokal. Banyak orang yang ingin sukses dengan cara yang instan. Namun, yang menjadi masalah adalah banyak yang sudah merasa sukses, kemudian secara psikologis menjadi sukses. Padahal seharusnya dibalik, sukses dulu baru bisa merasa sukses. Itu tadi pandangan saya.

Menurut Bapak, apa potensi dari generasi milennial yang belum dioptimalkan dengan baik?

Menurut saya kelebihan dari generasi milenial di Indonesia adalah tingkat kemapanan rasionalitasnya baik, namun kemapanan emosionalitasnya buruk. Cara berpikirnya bagus, tapi tidak diimbangi dengan endurance atau daya tahan emosionalnya rendah, sehingga itulah yang perlu dioptimalkan dan dipertajam. Kalau mau buka usaha ada risiko untuk gagal, begitu pula dengan bekerja juga jangan takut untuk mendapat gaji yang rendah.

Bagi generasi milenial, bagaimana cara meningkatkan daya tahan atau endurance serta apa mindset yang harus ditanamkan untuk menjadi sukses?

Analoginya seperti ini, saat masih kecil dan belajar sepeda lalu terjatuh, pasti nangis karena ketakutan. Jika minggu depannya jatuh lagi, tetap nangis namun sudah tidak sehisteris sebelumnya. Begitupun setelahnya, hingga sudah terbiasa dan tidak perlu untuk menangis lagi. Tergantung dari tingkat kecelakaannya.

Bagaimana cara meningkatkan daya tahan atau endurance? Semakin sering gagal, maka semakin menjadi kuat karena sudah pasti gagal kalau tidak melakukan apa-apa. Namun, jika kita tetap melangkah, faktor yang membuat gagal bukan dari diri kita, melainkan caranya. Tetapi, apa yang membuat orang ingin mencoba kembali? Karena dia tahu tujuannya mau menjadi apa dan mau ke arah mana. Karena tanpa itu, dia akan menjadi mahkluk yang tidak berprinsip dan tidak bisa mengontrol emosinya.

Bagaimana caranya menerapkan mindsdet untuk mengetahui tujuan dan seperti apa langkah-langkahnya yang bisa dilakukan?

Kita harus tetap menjalani pekerjaan dan mengetahui tujuan kita. Dalam prosesnya, terkadang kita harus mengambil keputusan yang tidak healthy bagi bisnis dan diri kita karena kondisi tertentu. Tapi kalau sudah masuk ke ranah melatih mental, kita perlu untuk melakukan journaling atau mencatat semua kegiatan atau proses dalam meraih tujuan kita, juga melakukan follow-up terhadap diri kita sendiri. Kita sebagai orang Indonesia jarang melakukan follow-up pada diri kita sendiri karena kita terlalu mudah untuk ter-distract. Jadi, kita perlu melatih supaya selalu fokus. 

Apakah prinsip "work harder and go the extra mile" masih relevan dengan generasi milenial di Indonesia?

Kalau di negara lain, untuk tetap unggul, kita harus memiliki banyak aspek, yaitu aspek ilmu, aspek motivasi, aspek kompetensi, aspek pengalaman dan harus dilakukan secara ekstra.

Namun, di Indonesia itu simpel, kita tidak perlu kompetensi yang tinggi tapi tetap disiplin, on-time, dan polite karena banyak orang Indonesia yang pemalas, sehingga aspek seperti kompetensi dan personal branding yang baik merupakan nilai lebih yang harus dimiliki. Sebelumnya, kita harus mengetahui terlebih dahulu strategi seperti kita mau menjadi seperti apa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: