Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diskriminasi Kelapa Sawit, Diskriminasi Petani sebagai Aktor Utama Perkebunan

Diskriminasi Kelapa Sawit, Diskriminasi Petani sebagai Aktor Utama Perkebunan Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit Indonesia dan produk turunannya oleh negara Barat seperti Uni Eropa dan Amerika Utara berkaitan dengan aspek keberlanjutan (sustainability).

Dalam buku PASPI Monitor dituliskan, di Uni Eropa misalnya, European Sustainable Palm Oil (ESPO), saat ini sedang mengajukan proposal kepada pemerintahnya agar minyak sawit yang masuk ke daratan Eropa merupakan minyak sawit yang bersertifikat berkelanjutan.

Tidak adil rasanya, kelapa sawit merupakan satu-satunya komoditas pertanian dunia yang dipertanyakan dan dituntut memiliki sertifikasi sustainability. Sementara, minyak nabati lain seperti rapeseed, sunflower, dan soybean tidak dituntut demikian.

Baca Juga: Lawan Diskriminasi Sawit di WTO, Kemendag: Optimis Bisa Kalahkan Uni Eropa

Tidak hanya itu, masyarakat Uni Eropa dan Amerika juga tidak pernah menuntut adanya sertifikasi keberlanjutan pada sektor pertambangan maupun minyak bumi. Sektor peternakan yang jelas-jelas menjadi driver deforestasi juga tidak dituntut dan dipertanyakan sistem sertifikasi sustainability-nya.

Lantas, mengapa hanya minyak sawit yang dituntut demikian? Bukankah itu bagian dari praktik diskriminasi terhadap minyak sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Amerika Utara? Padahal, sesuai dengan prinsip WTO yakni prinsip equal treadment, harusnya minyak sawit tidak mendapatkan perlakuan demikian.

Sesuai dengan perwujudan pembangunan berkelanjutan dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pembangunan yang berkelanjutan hanya mungkin terwujud melalui gerakan bersama sustainability secara lintas komoditas, industri, ruang, negara, dan generasi.

Dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, "pembangunan berkelanjutan secara global tidak mungkin terwujud jika hanya minyak sawit yang sustainable, sementara komoditas/industri/sektor/negara lain tidak sustainable. Bahkan pada level di Indonesia adalah tidak mungkin mewujudkan pembangunan berkelanjutan jika hanya perkebunan kelapa sawit yang dituntut sustainable."

Praktik diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa dan Amerika Serikat ini tidak hanya merugikan sektor industri dan produk yang dihasilkan. Diskriminasi terhadap minyak sawit berarti juga melakukan diskriminasi terhadap petani sawit yang merupakan salah satu pelaku terbesar perkebunan kelapa sawit dunia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: