Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Survei: UKM Asia Tenggara Kewalahan Lawan Ancaman Siber

Survei: UKM Asia Tenggara Kewalahan Lawan Ancaman Siber Kredit Foto: Reuters/Kacper Pempel
Warta Ekonomi, Jakarta -

Usaha kecil dan menengah (UKM) termasuk di antara banyak sektor yang terkena dampak pandemi. Selain menjaga arus kas mereka tetap berjalan meskipun terdapat tindakan lockdown berulang, sektor ini juga menjadi target para pelaku kejahan siber yang berbahaya.

Berdasarkan survei Kaspersky’s IT Security Economics 2020, lebih dari sepertiga (37%) UKM di Asia Tenggara (SEA) mengaku telah menghadapi serangan yang ditargetkan.

Ini merupakan empat tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 33%. Dalam penelitian ini, UKM didefinisikan sebagai perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 50 hingga 999 orang.

Baca Juga: Studi: Asia Jadi Kawasan Paling Tidak Aman dari Serangan Siber

Serangan bertarget adalah beberapa risiko paling berbahaya bagi sistem bisnis. Ini adalah tipe serangan siber yang ditujukan untuk membahayakan perusahaan atau jaringan tertentu. Biasanya, serangan yang ditargetkan memiliki beberapa tahapan. Jenis ancaman canggih tersebut cenderung sangat sulit dideteksi karena sifatnya yang ditargetkan.

"Meskipun banyak pemilik usaha yang masih menganggap bisnis sederhana mereka jauh dari radar penjahat dunia maya, wawasan dari survei kami mengungkapkan gambaran sebaliknya. Kebanyakan aktor ancaman pada dasarnya adalah oportunis," kata Yeo Siang Tiong, General Manager untuk Asia Tenggara di Kaspersky dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/11/2020).

Studi yang sama dilakukan pada Juni lalu dengan para 5.266 pembuat keputusan bisnis TI dari 31 negara mengungkapkan celah yang memerlukan perbaikan mendesak--mengingat lebih dari setengah UKM di Asia Tenggara (66%) mengakui kurangnya visibilitas infrastruktur dan (64%) ketidakmampuan untuk mendeteksi ancaman serius di antara banyaknya peringatan yang datang.

Selain itu, hampir tujuh dari 10 (66%) responden mengungkapkan kurangnya staf teknis yang terampil untuk mendeteksi dan menanggapi insiden yang kompleks. Hampir dua pertiga (64%) juga mengakui ketidakmampuan mereka untuk menanggapi dan membersihkan dengan benar setelah serangan canggih terjadi dan sekitar 58% menyatakan mereka belum memiliki wawasan dan intelijen memadai tentang ancaman yang secara khusus dihadapi oleh bisnis mereka.

"Perusahaan besar lebih cenderung memiliki langkah-langkah keamanan mutakhir sehingga UKM akhirnya menjadi sasaran empuk. Ketika berhasil, serangan ini bisa menyebabkan kerugian yang sangat besar. Rata-rata, serangan yang berhasil terhadap UKM dapat menghabiskan biaya hingga US$130 ribu (Rp1,8 miliar) jika dihadapkan dengan situasi saat ini. Itu merupakan jumlah yang sangat besar," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: