Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menagih Tanggung Jawab Perbankan atas Kasus Pembobolan Dana

Menagih Tanggung Jawab Perbankan atas Kasus Pembobolan Dana Kredit Foto: Unsplash/Kaur Kristjan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Gugatan perdata yang dilayangkan wartawan senior Ilham Bintang terhadap Indosat dan Bank Commonwealth Indonesia belum juga menemui titik terang. Gugatan sebesar masing-masing Rp100 miliar itu telah dilayangkan sejak dua bulan lalu lantaran dua korporasi besar itu tak ikut diadili atas kasus pembobolan dana yang menimpa Ilham.

"Sudah dua kali sidang, tanggal 30 November dan 7 Desember, tapi ditunda karena hakim sakit. Dua-duanya (Indosat dan Commbank) hadir (di sidang pertama)," kata Ilham melalui pesan singkatnya kepada Warta Ekonomi, Rabu (9/12/2020).

Baca Juga: Aksi Pembobolan Bank Marak di Brasil, Mirip Film-film Aksi di Hollywood

Pendiri Cek & Ricek ini hanyalah satu dari sekian korban kejahatan pembobolan dana nasabah perbankan. Berdasar data Polri yang dikutip, kasus pembobolan dana dengan berbagai modus seperti rekayasa sosial (social engineering) dan sebagainya merupakan kejahatan nomor dua paling banyak terjadi sepanjang Januari-September 2020.

Bahkan sejak 2016 hingga 2020 (per September), total ada 7.047 kasus penipuan online yang dilaporkan. Jika dirata-rata, tedapat 1.409 kasus setiap tahunnya. Modus rekayasa sosial sendiri digunakan umumnya untuk menguras saldo rekening, kartu kredit, maupun dompet digital.

Tak sedikit nasabah perbankan di Indonesia terpaksa menelan pil pahit; jadi korban pembobolan rekening tapi bank enggan mengganti rugi dengan dalih peristiwa itu bukan kesalahan pihak bank, melainkan kekeliruan nasabah sendiri.

Mendengar maraknya kasus pembobolan rekening, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menyarankan perbankan agar meningkatkan literasi keuangan kepada masing-masing nasabahnya untuk menjelaskan hak dan kewajiban nasabah dan juga bank. Pasalnya, ia menilai literasi keuangan di Indonesia masih rendah, terutama aspek kedalaman risiko.

"Kedua belah pihak punya tanggung jawab masing-masing. Misalkan saya sebagai nasabah punya tanggung jawab merahasiakan PIN saya, bahkan terhadap istri saya sendiri atau anak saya. Itu kewajiban," papanya kepada Warta Ekonomi belum lama ini.

Seperti yang dilakukan Ilham Bintang, Eko meminta nasabah yang menjadi korban penipuan menggugat bank yang tidak mau bertanggung jawab atas kerugian yang dialami. Selain pengadilan, ada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia yang dibentuk OJK sejak tahun 2016 silam. Sesuai namanya, lembaga independen ini bertugas sebagai perantara menyelesaikan segala persengketaan perbankan.

"Ketika terjadi persengketaan, kenapa uangnya enggak dibayar? Bisa dilaporkan ke OJK. Itu gratis, bisa melaporkan. Di situ nanti ada proses permohonan. (Misal) ada yang merasa banknya enggak mau bayar, padahal mungkin dia benar-benar ditipu. Dari situ bisa ditelusuri, kalau misalkan memang banknya enggak mau ganti," jelas Eko.

Menurut Eko, secara umum, bank harusnya mau mengganti rugi nasabah lantaran hal ini menyangkut reputasi bank tersebut. Namun, harus dilihat per kasus karena kejahatan rekayasa sosial begitu luas.

Eko sendiri menyayangkan jika ada perbankan yang enggan membayar ganti rugi atas pembobolan rekening nasabahnya. Jika pembobolan dana terus-menerus terjadi tanpa ada tanggung jawab dari pihak perbankan maka reputasi bank tersebut menjadi taruhannya. Pada akhirnya, skenario terburuk yang bisa menimpa bank tersebut ialah kejadian rush money.

"Harusnya secara keseluruhan bank tidak bertaruh reputasi. Kalau bank sampai tidak mau ganti, sebetulnya dia harus bersiap-siap dengan reputasi. Bisa saja nanti (uang) di-rush oleh nasabah," wanti-wanti Eko.

Dia memandang bahwa bank dan nasabah harus sama-sama menjalankan perannya. Bank meningkatkan inovasi dalam hal keamanan teknologinya, nasabah harus meningkatkan literasi, khususnya terkait keamanan datanya. Sehingga, makin waspada terhadap segala kejahatan penipuan online.

"Overall sebetulnya, uang kita dijamin di bank. Tinggal bagaimana kita sebagai nasabah, memang harus bisa menjaga diri. Password dan nama ibu kandung, jangan sembarangan (disebarkan). Jangan sembarang instal aplikasi gratisan juga. Intinya di kehati-hatian," tandasnya.

Bank-bank di Inggris Lepas Tangan Juga

Masyarakat Inggris juga tak bebas dari beragam penipuan online. Menurut badan perbankan UK Finance, jumlah uang yang dicuri penjahat melalui penipuan transfer bank telah meningkat 40% selama enam bulan pertama 2019 dan lebih dari £1 juta per hari.

Negeri Ratu Elisabeth ini bisa dibilang memang selangkah lebih maju dari negara-negara lain. Hal itu dibuktikan dengan adanya kode etik baru yang mengharuskan bank untuk memperlakukan korban penipuan dengan lebih baik. Kode sukarela yang berlaku sejak Mei 2019 ini telah diadopsi oleh semua bank besar di Inggris tanpa terkecuali.

Melansir The Guardian, kode tersebut ditujukan untuk korban penipuan authorised push payment (APP) di mana nasabah ditipu untuk mengirimkan uang secara langsung--dalam banyak kasus mereka ditipu melalui telepon seolah dari pihak bank resmi. APP mencakup kasus di mana penjahat meretas akun email, baik individu atau perusahaan, untuk menipu orang agar mengirimkan uang dalam jumlah besar ke akun penipu.

Kode ini menyatakan bahwa nasabah harus diganti rugi dengan syarat mereka telah cukup berhati-hati dan memperhatikan segala peringatan tentang penipuan. Sayangnya, bank tampak masih mendapatkan keuntungan besar karena mereka bisa dibebaskan jika mereka yakin nasabah sangat lalai.

Dalam praktiknya, masih banyak korban yang tetap saja tak langsung mendapat ganti rugi dari bank, kecuali media-media Inggris turut terlibat. Perempuan paruh baya di Inggris sebut saja Sylvia Wilson, salah satu contohnya.

Nasib sial yang menimpa Wilson berawal dari emailnya yang diretas dan pesan dari dan ke pengacaranya serta agen real estatenya disadap dan diganti dengan email palsu yang memintanya mentransfer uang seharga pembelian properti ke rekening Bank Lloyds yang seolah milik pengacaranya.

Awalnya Wilson hanya berhasil mendapatkan kurang dari £35.000 (Rp597,937 juta). Saat dia meminta ganti rugi, Co-op Bank menolak dan HSBC hanya memberinya £3.333. Sementara Lloyds mengembalikan £30.083 ke rekening HSBC Wilson. Padahal Wilson ditipu sebesar lebih dari £300.000 (sekira Rp5,122 miliar).

Namun, setelah Guardian Money terus mendampingi Wildon dan menyoroti kasusnya, Lloyds akhirnya mengembalikan sisa uang £4.430 dari akun yang digunakan penipu, HSBC mengembalikan hampir £220.000 yang Wilson bayarkan ke penipu, juga Co-op Bank mengembalikan £50.000. Secara total, Wilson telah menerima lebih dari £300.000, setiap sen yang hilang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: