Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kacau, Kebijakan Wajib Rapid Test Antigen Bikin Kacau

Kacau, Kebijakan Wajib Rapid Test Antigen Bikin Kacau Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi -

Kebijakan pemerintah mewajibkan masyarakat yang ke luar kota harus rapid test antigen bikin kacau. Layanan di bandara menimbulkan antrean panjang. Ribuan tiket penerbangan dan penginapan dibatalkan. Kerugian ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah. Begini nih kalau kebijakan dibuat dadakan, ujungnya pasti berantakan.

Kebijakan ini dikeluarkan Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan kepada sejumlah kepala daerah, Senin (14/12). Saat itu, Luhut memimpin rapat koordinasi secara virtual terkait Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Luhut mewajibkan calon penumpang kereta api jarak jauh dan pesawat untuk melakukan rapid test antigen maksimal H-2. Alasannya, rapid test antigen memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan rapid test antibody.

Atas instruksi Luhut itu, sejumlah kepala daerah kemudian membuat syarat melampirkan hasil rapid test antigen jika ingin masuk ke wilayahnya. Tercatat, 6 kepala daerah yang sudah mengambil kebijakan ini.

Baca Juga: Wisatawan Wajib Rapid Test Antigen, Hotel di Malang Merin

Namun, kebijakan yang mendadak ini, menimbulkan kekacauan baru. Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kebijakan yang diberlakukan mulai kemarin, membuat antrean panjang calon penumpang. Di Terminal II, ribuan orang antre ngurus dokumen ini, mengekor hingga trotoar. Kemarin, Rakyat Merdeka ikut merasakan antrean itu.

Di Terminal III, juga sama. Namun antrean tidak sepanjang di terminal II. Pengurusan dokumen dilayani 4 loket dalam dua gelombang. Untuk gelombang I, dari pagi sampai siang. Kedua, dari siang sampai sore. Total antrean mencapai ribuan.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengkritik kebijakan ini. Kata dia, pemerintah masih dilema antara perekonomian dan kesehatan. Tidak heran juga ujungnya berantakan.

“Ini kebijakan grubag-grubug, tidak direncanakan. Pemerintah panik. Di satu sisi, ingin terapkan long weekend. Di sisi lain, Covid-19 belum landai, malah makin galak,” kata Tulus, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

 

Kebijakan yang dadakan ini, kata dia, tidak didukung dengan kemampuan SDM-nya. “Karena memang tidak disiapkan untuk itu. Jadi malah berantakan,” kritiknya.

Anggota Ombudsman, Alvin Lie mengatakan, kebijakan ini cermin dari tidak konsistennya pemerintah. Contohnya, Oktober kemarin, pemerintah mendorong masyarakat berpergian dengan penghapusan airport tax. Namun, sekarang justru diperketat dengan kewajiban hasil rapid antigen.

“Saya sangat kecewa, pemerintah ini gayanya zig zag, tidak konsisten. Kemarin mendorong berpergian, sekarang tarik rem darurat dan ubah ukuran tanpa mempersiapkan secara matang,” kritik pria yang juga pengamat penerbangan itu.

Dia juga menyayangkan pemerintah terburu-buru karena tidak melakukan sosialisasi secara luas terlebih dahulu kepada masyarakat. Bahkan, pemerintah belum memberi tahu di mana saja fasilitas kesehatan yang menyediakan rapid test antigen.

“Maka akan terjadi ketidakcukupan pasokan antigen dan menyebabkan harganya akan naik. Saya kira tidak pada tempatnya pemerintah berbalik arah memberi keputusan. Karena kebijakan publik yang berdampak luas harus disosialisasikan kepada masyarakat dan perlu disiapkan juga yang mengaturnya,” tukasnya.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mencurigai, kebijakan mewajibkan rapid test antigen sebagai bisnis baru. Alasannya, kebijakan ini dikeluarkan bukan oleh Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, tapi dikeluarkan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan.

“Saya curiga ini bisnis siapa, tiba-tiba antigen. Di mana-mana nggak ada. Jangan-jangan ada yang datengin nih. Ini barang dari mana masuknya. Siapa yang datengin,” duga Agus.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menilai kebijakan itu salah sasaran. Agus mengatakan, peningkatan kasus Covid-19 bukan disebabkan oleh perjalanan, melainkan minimnya kesiapan pemerintah daerah dalam mengakomodasi pendatang dari luar daerah membuat penyebaran Covid-19 tidak terkendali.

“Apakah kita siap (mengubah tes menjadi) rapid antigen? Kita tidak siap. Ada catatan data, hampir Rp 300 miliar harus dikembalikan (ke konsumen), yang dibikin repot siapa?” ulas Agus.

 

Kerugian Capai Rp 300 miliar

Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Bali menghitung, sedikitnya 3.000 wisatawan membatalkan kunjungan ke Pulau Dewata menyusul revisi kebijakan swab test. Total kerugiannya diproyeksi mencapai Rp 300 miliar. Penyebabnya adalah kebijakan melakukan rapid test antigen.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani mengatakan, refund tiket besar-besaran itu dampak dari kebijakan baru yang dibuat pemerintah bagi wisatawan.

“Data yang kami olah sampai dengan tadi malam, terjadi permintaan refund dari pembeli tiket sampai 133 ribu passenger, dan ini meningkat 10 kali lipat dibanding kondisi normal. Dari online travel agent (OTA) big data-nya kirakira berapa transaksi yang terdampak, data sampai tadi malam itu Rp 317 miliar,” katanya, Rabu (16/12).

Di dunia maya, kebijakan dadakan yang dibuat pemerintah ini juga dikeluhkan banyak warganet.

“Aturan dadakan banget gini ya, banyak orang yang udah booking tiket & hotel jauh hari sebelum aturan ini terbit. Apalagi biro perjalanan wisata yang buka open trip dari jawa ke bali, pasti udah sewa bus, booking hotel, dll. Ambyar kabeh,” cuit akun @imam_bepe. “Selalu buat kebijakakan yang merepotkan rakyat. Kemarin cuti bersama akhir tahun dihapus, sekarang mendadak harus test ini itu,” protes akun @novembermed.

“Nyesek banget udah beli tiket dan booking hotel baru tau ada begini. Mana rapid test antigen-nya mahal, jadi pengeluaran mendadak juga TT,” timpal akun @hioechales.

Namun akun @mustaqim_rulik justru menyindir wisatawan yang keberatan dengan kebijakan ini. “Wisata bisa bayar pingenepan, transport dll, tapi bayar test pcr gak bisa? Aneh bin ajib,” sindirnya.

“Ya kalo budget pas-pasan jangan berangkat dulu. Ini kan demi keamanan bersama. Kalo gak krn pandemi juga gak akan harus pake protokol kesehatan yang ketat gini. Kalo uda sakit, itu duit liburan juga berasa gak ad harganya.. makin lama nyari rs makin susah lho,” timpal akun @dkarunia_r. [MEN]

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: