Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tak Perlu Nama Untuk Sebuah Cinta (Belajar Dari Triana, Sang Penggagas Griya Schizofren)

Tak Perlu Nama Untuk Sebuah Cinta (Belajar Dari Triana, Sang Penggagas Griya Schizofren) Kredit Foto: Taufan Sukma
Warta Ekonomi, Solo -

Tidak bisa lagi kutemui dia kali ini. Berbincang lewat obrolan yang renyah, dengan dua cangkir kopi dan seutas senyum yang cukup hangat dan bersahabat seperti tahun lalu. Benar kata orang. Pandemi COVID19 telah mengubah segalanya. Tidak hanya untuk orang-orang yang sehat dan ‘wajar’ seperti layaknya kita, namun juga bagi orang-orang yang kerap dianggap ‘berbeda’ seperti Rani, dan teman-temannya di Griya PMI Peduli.

Masih teringat jelas perbincangan kami saat itu. Dia memperkenalkan diri sebagai Rani. Maharani. Sebut saja begitu, karena pada dasarnya tak ada yang tahu pasti segala hal terkait data pribadi dan segala seluk-beluk informasi tentang wanita yang mengaku tinggal di Cikeas, Bogor, Jawa Barat itu. Siapa nama aslinya. Berapa usianya. Siapa orang tuanya dan tinggal di mana. Tak ada satu pun yang tahu. Hanya sebuah pengakuan nyeleneh yang kerap kali diucapkannya, bahwa dia adalah menantu dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden ke-6 Indonesia itu. Menantu ‘asli’, sebelum suaminya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung SBY, direbut oleh Annisa Pohan yang merupakan mantan artis sekaligus anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aulia Pohan, itu.

“Ya, dia selalu mengaku seperti itu. Dan Annisa lah yang mengusir dia dari Cikeas dan lalu membuangnya ke sini. Kisah itu selalu dia ceritakan kepada semua orang sebagai ‘salam perkenalan’. Sayang, sejak Maret lalu Saya dan teman-teman sudah tidak pernah bertemu dengan Rani dan juga (teman-temannya) yang lain. Cukup sedih juga. Paling saat ini hanya bisa melihat mereka dari jauh, dari seberang bangsal, sekadar melambaikan tangan dan bertukar sapa,” ujar Triana Rahmawati, pendiri Griya Schizofren, beberapa waktu lalu.

Bagi yang belum mengenal, Griya Schizofren merupakan sebuah komunitas yang digagas oleh Triana sejak delapan tahun lalu bersama beberapa temannya sesama mahasiswa sosiologi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo. Melalui komunitas kecil ini, Triana dan kawan-kawan concern terhadap berbagai kegiatan pendampingan untuk Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) melalui pendekatan sosial kemasyarakatan. Namun dengan keterbatasan personel yang dimiliki, Griya Schizofren kemudian mengerucutkan lingkup kegiatannya pada pendampingan terhadap para ODMK di Griya PMI Peduli, yang berada di bawah naungan Palang Merah Indonesia Cabang Solo. Di sana, ada tidak kurang dari 130-an ODMK yang tinggal dan dirawat, termasuk Rani dan juga teman-temannya, karena tak tahu lagi harus melanjutkan hidup di mana selain di sana.

Mereka semua nggak ada yang diketahui asal-usulnya. Nama saja kami hanya memanggil sesuai pengakuan mereka masing-masing. Nggak ada data atau identitas sama sekali, karena mereka rata-rata ditemukan petugas (Griya PMI Peduli) dari jalanan. Mereka nggak bawa apa-apa. Nggak punya apa-apa. Bahkan ada juga yang ke sini dulu diantar keluarganya dan tidak pernah lagi dijenguk sama sekali. Sampai detik ini. Nggak ada yang mau kenal mereka. Mereka ini sengaja dibuang oleh masyarakat, bahkan oleh keluarganya sendiri karena malu punya keluarga seperti mereka (ODMK)," ujar Triana.

Pandemi

Misi besar yang dibawa Griya Schizofren sebenarnya cukup sederhana, yaitu berasal dari kesadaran bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin dinihilkan keberadaannya. Semua manusia pasti selalu diperlakukan selayaknya manusia pada umumnya. Dimanusiakan. Tak terkecuali juga para ODMK. “Ketika ada satu orang yang kemudian orang-orang di sekelilingnya bilang ‘nggak usah digagas (digubris)’ karena mereka orang gila atau ODMK. Itu sangat miris sekali. Mereka kan juga manusia. Siapa sih orang yang suka ketika tidak digubris? Tidak di’orang’kan oleh masyarakat di sekelilingnya? Tidak ada. Begitu juga dengan mereka,” tutur wanita yang atas kepeduliannya terhadap ODMK melalui Griya Schizofren itu, akhirnya terpilih sebagai penerima 8th SATU Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk, tersebut.

Dengan berbekal kepeduliannya tersebut, Triana kemudian lebih banyak memfokuskan program-program Griya Schizofren pada kegiatan berinteraksi langsung secara sosial dengan para ODMK. Mengajak mereka berbincang, bersenda gurau bersama, bernyanyi dan mengaji sebagai salah satu bentuk terapi, hingga beraktifitas ringan bersama seperti menggambar, mengajari mereka membuat beragam produk kerajinan yang hasilnya bisa dijual, lalu uangnya bisa mereka gunakan untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, seperti makan, minum, ataupun sekadar beli jajan atau rokok, maupun bedak dan pembalut bagi para wanitanya. Intinya agar mereka tidak merasa useless, lebih berdaya guna, setidaknya untuk dirinya sendiri. Dengan pendekatan seperti itu pula, secara mental dan emosional para ODMK juga lebih stabil, sehingga lebih bisa beraktifitas secara sosial dengan positif.

Sayang akibat pandemi, kegiatan berupa interaksi langsung dengan para ODMK tersebut untuk sementara tidak bisa lagi dilakukan. Sejak Maret 2020 lalu, Triana dan seluruh tim Griya Schizofren terpaksa harus mengubah programnya menjadi lebih berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan para ODMK, yang kini juga sudah tidak lagi bisa ke mana-mana, bahkan untuk hanya sekadar berjalan-jalan di depan teras atau sekitar Griya PMI Peduli. “Praktis mereka hanya tinggal di bangsal saja 24 jam seharian, dan kami lebih (fokus) ke ketersediaan makanan-minuman, alat kesehatan hingga asupan vitamin agar imun mereka dan juga para petugas dari PMI Peduli bisa lebih bagus dan terjaga,” ungkap Triana.

‘Program baru’ Griya Schizofren dalam mendukung pemenuhan kebutuhan para ODMK tersebut dibenarkan oleh Kepala Markas PMI Solo, Agus Setyo Utomo, saat dihubungi secara terpisah. Menurut Agus, kedekatan Triana dan para volunteer dari Griya Schizofren dengan para ODMK sudah terjalin dengan sangat baik. Mereka tidak hanya hadir seperti masyarakat kebanyakan yang terkadang datang menyalurkan bantuan, melainkan hadir sebagai seorang sahabat dan teman berbincang, sehingga tercipta sebuah kedekatan personal yang lebih erat. Bahkan lantaran telah cukup lama tak bertemu, tak sedikit dari para ODMK yang menanyakan keberadaan Triana dan tim.

“Mereka (Triana dan tim) ini memang sudah sangat dekat. Bahkan karena belum bisa ketemu langsung, mereka tetap rutin menanyakan apa-apa saja yang masih bisa dibantu, mulai dari bantuan dana, pasokan alat-alat kesehatan seperti baju hazmat dan masker untuk para petugas kami, obat dan suplemen. Macam-macam. Mereka semua masih muda. Tapi apa yang mereka lakukan untuk para ODMK ini, memberikan ‘kehangatan’ yang sudah seperti layaknya keluarga. Padahal kebanyakan keluarga-keluarga asli mereka (para ODMK) ini saja kebanyakan sudah ‘membuang’ mereka karena malu. Di situ kami benar-benar mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh teman-teman dari Griya Schizofren,” ujar Agus.

Cinta

Dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan para ODMK selama pandemi tersebut, Griya Schizofren juga berusaha menggandeng sebanyak mungkin pihak untuk berpartisipasi. Tidak hanya agar secara nominal yang dikumpulkan bisa lebih besar, Triana dan tim ingin juga semakin memperluas kampanyenya terkait ‘memanusiakan para ODMK’ kepada sebanyak-banyak pihak dan pemangku kepentingan yang ada di masyarakat. Salah satunya dengan membuka pembicaraan untuk kerjasama dengan pondok pesantren dan komunitas dakwah yang selama ini dikembangkan oleh Ustadz Yusuf Mansyur. “Selain tentunya untuk mendapatkan dukungan pendanaan, yang kami upayakan adalah bagaimana agar para ODMK ini juga bisa diterima sebagai salah satu sasaran penyaluran zakat, sedekah dan bantuan-bantuan lain. Selama ini kan yang kita tahu prioritasnya lebih pada fakir miskin, anak-anak terlantar, para lansia dan sebagainya. ODMK tidak termasuk. Nah potensi kerjasama ini lebih kami niatkan untuk lebih menjadi kampanye ke arah sana. Namun karena sekarang Ustadz Yusuf MAnsyur masih ada gangguan kesehatan, jadi pembicaraannya masih terpending dulu. Semoga bisa segera kita tindak lanjuti dalam waktu dekat ketika Insya Allah Ustads sudah kembali sehat,” papar Triana.

Kampanye terkait isu ODMK memang juga menjadi concern lain Griya Schizofren di luar fokus mereka dalam berupaya memenuhi kebutuhan para ODMK selama masa pandemi. Triana menyebut bahwa komunitasnya tak lelah untuk terus menyebarkan kampanye dan edukasi kepada masyarakat luas agar sedapat mungkin memperlakukan para ODMK yang ada di sekitar kehidupannya secara layak dan setara seperti halnya perlakuan kepada manusia pada umumnya. Tidak hanya untuk para ODMK yang ada di Griya PMI Solo, Triana berharap agar semua ODMK di seluruh Indonesia dan di mana pun berada, tetap bisa mendapatkan perlakuan yang baik dan layak, dan juga tetap memiliki akses terhadap hak-haknya sebagai seorang manusia yang ingin dihargai, dihormati, dan terbebas dari segala perlakuan negatif seperti hinaan, bentakan, pelecehan dan lain sebagainya. “Namun jujur, meski telah dialihkan dengan berbagai program lain, dengan tidak adanya interaksi sosial secara langsung bersama mereka (para ODMK), tetap rasanya ada part yang hilang di hati ini,” ucap Triana, sedih.

Menurut istri dari Siswandi Al-Bukhori ini, dirinya dan seluruh tim telah sama-sama belajar melalui Griya Schizofren bahwa apa yang mereka lakukan selama ini merupakan sebuah ungkapan cinta, sebuah bentuk cinta pada sesama dan sekaligus cinta pada kehidupan itu sendiri. Dalam akun instagram resmi Griya Schizofren, Triana menulis bahwa sebuah bentuk ungkapan cinta itu tidak boleh hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diucapkan, namun juga lebih pada sesuatu yang bisa dirasakan. Dalam terminologi filsafat klasik, misalnya, bentuk cinta memiliki tiga varian yang diungkapkan dengan istilah eros, philia dan agape. Dalam tingkatan yang paling rendah, eros merupakan bentuk cinta yang masih dilandaskan pada hawa nafsu. Tujuannya masih berdasarkan kepuasan pribadi, entitas yang dicintai lebih diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek.

Satu tingkat di atasnya, philia lebih diidentikkan pada bentuk cinta dalam sebuah ikatan persahabatan. Meski telah terbebas dari hawa nafsu dan juga telah menempatkan entitas yang dicintai sebagai subyek, namun cinta jenis ini masih bersifat relasional di mana respon dari pihak yang dicintai masih tetap diperlukan. Singkatnya, philia masih merupakan cinta dengan pamrih tertentu. Baru di tingkatan paling sempurna, ada agape yang tidak lagi bergantung pada hawa nafsu dan kualitas yang ada pada pihak yang dicintai (cantik/tampan, ramah, pengertian dan sebagainya). Agape tidak lagi mementingkan respon yang diberikan oleh pihak yang dicintai. Sebuah konsep cinta satu arah yang oleh Gabriel Marcel, seorang filsuf asal Perancis, disebut sebagai “Saat bersatunya ‘aku’ dan ‘engkau’ lalu melebur menjadi ‘kita’. Sebuah upaya membuang ego dari ‘aku’ dan lalu menarik ‘engkau’ masuk, menjadi bagian dari ‘diriku’.”

Belajar dari apa yang telah dibangun selama ini oleh Griya Schizofren, Triana dan timnya telah berhasil menyebarkan semangat cinta ala ‘agape’ yang tidak lagi mengenal pamrih. Kepada para ODMK yang bahkan namanya saja mereka tidak pernah ketahui dengan pasti, yang latar belakang keluarganya juga tidak pernah jelas datang dari mana, yang setiap saat bisa saja bertindak di luar kewajaran dan bahkan berpotensi mengancam keselamatan, namun Triana dan rekan-rekannya di Griya Schizofren dengan tanpa pamrih tetap bisa berempati dan menebarkan kehangatan, yang bagi para ODMK itu tidak lagi mereka dapatkan dari keluarga aslinya. Mereka yang terbuang dari masyarakat luas, dari peradaban, dan bahkan terbuang dari keluarganya sendiri, oleh Triana dan rekan-rekan Griya Schizofren telah berhasil dimanusiakan kembali sebagaimana mestinya sebagai seorang manusia. Dikembalikan kehormatannya. Hak-hak hidupnya yang juga ingin dihargai, disayangi dan mendapatkan limpahan kasih dari kita sesama manusia.

“Intinya bagi Saya, dan bagi kami di Griya Schizofren, tinggal ikuti saja hati nurani. Kita semua, masing-masing di diri kita sendiri, pasti tidak suka kalau tidak diorangkan oleh masyarakat sekitar kita. Kita ingin dihargai, dihormati. Mendapatkan kasih sayang sebagaimana kodrat kita sebagai manusia untuk saling menyayangi. Kita ingin (perlakuan) itu, maka semua manusia juga pasti menginginkan (perlakuan) itu. Termasuk juga mereka para ODMK. Kalau kita semua sudah bisa membangun relasi yang baik dan indah itu kepada sesama manusia, Saya yakin, kami yakin, kehidupan pasti akan jauh lebih baik untuk kita semua. Indonesia pasti akan bisa jauh lebih baik untuk kita semua. Jadi selamat bersahabat dengan hati nurani. Jangan lelah menebarkan cinta dan mimpi,” pungkas Triana.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma

Bagikan Artikel: