Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sawit Dituduh Rusak Gambut, Bagaimana dengan Kebijakan Uni Eropa Ini?

Sawit Dituduh Rusak Gambut, Bagaimana dengan Kebijakan Uni Eropa Ini? Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak lebih dari satu dekade, pengembangan industri perkebunan kelapa sawit nasional di lahan gambut dituding dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) lahan gambut. Tuduhan tersebut tentu sangat tidak tepat dan salah.

Menurut laporan Wetland International, sekitar 90 persen lahan gambut Indonesia merupakan lahan gambut rusak (degraded peat land). Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dari berbagai penelitian ternyata justru menurunkan emisi GRK. Data mencatat, emisi GRK sekunder mencapai 127 ton CO2/hektare/tahun. Dengan penanaman kelapa sawit di lahan gambut, emisi GRK dapat berkurang menjadi 55–57 ton CO2/hektare/tahun (Melling, et.al., 2005, 2007).

Baca Juga: Kelapa Sawit itu Minyak Nabati Penting, Mengapa?

Saat ini, Pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan lahan gambut, terutama untuk kepentingan budi daya. Kebijakan ini diambil akibat tekanan dan tudingan dunia internasional salah satunya dari Uni Eropa. Uni Eropa menyebarkan tudingan tersebut, tetapi justru Uni Eropa menempati urutan kedua sebagai penghasil emisi karbon terbesar di dunia.

Namun mirisnya, Uni Eropa tidak memberlakukan pelarangan pemanfaatan gambut di negaranya, bahkan gambut dapat digunakan dan diperdagangkan untuk kepentingan komersial. Dalam buku European Mires Book yang disusun International Mire Conservation Group, terdapat data peta lahan gambut di Eropa secara komprehensif.

Sekitar 40 persen dari lahan gambut Eropa digunakan untuk pertanian dan kehutanan. Yang menarik, pemakaian gambut untuk kepentingan energi di Uni Eropa telah berjalan sejak 2.000 tahun lalu di Eropa. Saat itu, tanah gambut diolah menjadi alternatif kayu bakar untuk memasak dan memanaskan di daerah beriklim sedang di Eropa, khususnya Irlandia, Inggris, Belanda, Jerman, Swedia, Polandia, Finlandia, dan Rusia.

Memasuki abad 20, lahan gambut Uni Eropa mulai diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan listrik. Daya listrik yang dihasilkan pembangkit listrik dalam unit kecil dari gambut mencapai kisaran 20 kW-1.000 kW. Dalam presentasi berjudul "Energy Peat Position in EU Countries And Alternative Usage Possibilities" yang dipublikasikan Jaakko Silpola di Baltic Peat Producers Forum pada September 2019, Senior Specialist, Vapo Oy (perusahaan produsen dan pengolahan gambut) menjelaskan, sekitar 60 pembangkit listrik (kebanyakan dari combined heat and power atau CHP) dan lebih dari 120 fasilitas boiler menggunakan gambut dikombinasikan bahan bakar berbasis kayu.

Sekitar 600.000 orang Finlandia tinggal di rumah yang dipanaskan oleh gambut. Sementara itu, di Irlandia, konsumsi listrik dari gambut mencapai 3 juta ton dengan tiga pembangkit listrik bertenaga gambut skala besar, salah satunya yaitu ESB yang menghasilkan 250 MW dengan konsumsi sekira 2,2 juta ton.

Di Swedia, areal gambut untuk kepentingan energi mencapai 6.000 hektare dengan energi yang dihasilkan sebesar 1,1 juta MWh. Hampir sepertiga dari sumber daya lahan gambut Eropa ada di Finlandia dan lebih dari seperempatnya terletak di Swedia. Sisanya, berada di Polandia, Inggris, Norwegia, Jerman, Irlandia, Estonia, Latvia, Belanda, dan Prancis. Area kecil gambut dan tanah puncak gambut juga ditemukan di Lituania, Hongaria, Denmark, dan Republik Ceko.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: