Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Temukan Pandemi Corona Berdampak Negatif pada Kesehatan Mental, Begini Penjelasannya

Pakar Temukan Pandemi Corona Berdampak Negatif pada Kesehatan Mental, Begini Penjelasannya Kredit Foto: Shutterstock
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meskipun banyak kemajuan telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, otak tetap merupakan organ yang misterius dan kompleks, penuh dengan rahasia yang menanti untuk dibuka.

Dari sekian banyak penelitian tentang otak, hanya segelintir orang yang memiliki pengetahuan tentangnya seperti Facundo Manes. Ia telah menjadikan otak sebagai subjek studi yang ia teliti.

Baca Juga: Januari Happy, Turnamen Game Asah Otak Berhadiah Rp5 M, Segera Dimulai

Manes, yang lahir di Argentina, meraih gelar doktor di bidang sains dari University of Cambridge, gelar tertinggi diberikan untuk penelitian terkemuka di bidang ilmiah.

Ia telah menerbitkan sejumlah buku dan memandu program televisi yang bertujuan memberi pengetahuan kepada publik tentang perkembangan ilmiah terbaru dalam ilmu saraf.

Buku terbarunya, yang ditulis bersama Mateo Niro, telah diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan diberi judul The Brain of The Future.

Dalam buku tersebut, keduanya membongkar isu-isu kontemporer seperti dampak teknologi baru pada otak, neuroetika, dan peran sains sebagai mediator dalam masalah sosial.

Berikut ini adalah wawancara BBC dengan Manes di sela-sela Hay Festival Arequipa, yang tahun ini diadakan secara online hingga 8 November.

Apa yang membuat otak begitu memesona?

Otak menarik karena, di antara kualitas-kualitas lainnya, adalah satu-satunya organ tubuh yang mencoba menjelaskan dirinya sendiri.

Kita bisa menyadari semua yang kita lakukan berkat otak, mulai dari bernapas, membaca wawancara ini hingga menanyakan pertanyaan filosofis.

Otak adalah struktur paling kompleks dan penuh teka-teki di alam semesta. Organ itu juga berisi lebih banyak neuron (sel saraf) daripada jumlah bintang di galaksi.

Seberapa banyak yang kita ketahui tentangnya?

Selama beberapa dekade terakhir, kita telah belajar lebih banyak tentang otak daripada semua sejarah manusia.

Sekadar menyebutkan beberapa penemuan: penelitian menunjukkan bahwa ingatan, bertentangan dengan persepsi umum, bukanlah kotak tempat kita menyimpan ingatan, tetapi itu adalah ingatan terakhir kita.

Kita tahu sekarang bahwa neuron terus menerus diciptakan sepanjang hidup kita, bahkan di masa dewasa.

Penelitian lain membuat kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang empati, area penting dalam otak yang berkaitan dengan bahasa, mekanisme emosi otak, dan sirkuit saraf yang terlibat dalam melihat dan menafsirkan dunia di sekitar kita.

Kemajuan signifikan telah dibuat dalam deteksi dini penyakit kejiwaan dan neurologis, dan kita memperdalam pengetahuan kita tentang proses pembelajaran.

Pengetahuan kita tentang otak berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan.

Apa yang belum diteliti tentang otak dan kapan kita akan mengetahuinya?

Kita telah mempelajari tentang proses tertentu dari otak, tetapi masih belum ada teori yang menjelaskan fungsi umumnya.

Lebih jauh, pengetahuan baru tersebut menimbulkan pertanyaan baru. Kita bisa bertanya pada diri sendiri apakah kita akan pernah bisa memecahkan teka-teki otak sepenuhnya.

Apakah otak adalah mesin yang sempurna?

Saya tidak akan berbicara tentang kesempurnaan, tetapi kompleksitas dan potensi.

Sepanjang hidup kita, otak kita terus-menerus berubah. Maka dari itu, otak adalah organ yang fleksibel dan adaptif.

Neuroplastisitas, kapasitas sistem saraf untuk memodifikasi atau beradaptasi terhadap perubahan, memungkinkan neuron untuk mengatur ulang sendiri dengan membentuk koneksi baru dan menyesuaikan aktivitasnya sebagai respons terhadap perubahan lingkungan.

Dengan kata lain, pengalaman kita mengubah otak kita secara permanen.

Ini adalah salah satu mekanisme utama yang membuat spesies kita berevolusi dan beradaptasi dari waktu ke waktu.

Buku terbaru Anda berjudul The Brain of the Future. Apa yang akan menjadi masa depan otak?

Secara anatomis, otak tidak akan berubah selama berabad-abad.

Dengan teknologi baru yang sedang dikembangkan, kita dapat berpikir bahwa mungkin di masa depan otak kita akan lebih dipengaruhi oleh rekayasa genetika dan [kemungkinan] bioteknologi untuk mengembangkan kemampuan kita.

Saat ini, kita dapat memanipulasi gen melalui seleksi buatan dan memodifikasi sifat biologis.

Teknologi memungkinkan pengembangan jaringan buatan, seperti kulit yang terbuat dari plastik, dan perangkat seperti retina buatan atau implan koklea, misalnya.

Kemungkinan besar dalam beberapa ratus tahun ke depan akan memungkinkan untuk membuat atau meregenerasi jaringan saraf yang menyusun otak.

Ini akan memiliki implikasi penting untuk pengobatan penyakit yang saat ini belum ada obatnya, seperti demensia.

Beberapa orang meyakini teknologi baru akan membuat kita berhenti menggunakan otak kita. Apakah memang demikian?

Tidak, tidak sama sekali.

Tidak ada mesin yang bisa menggantikan otak kita.

Pikiran kita lebih dari sekadar pemroses data. Pikirkan tentang semua kemampuan otak kita, seperti memahami pikiran manusia lain, merasakan sakitnya, menanggapinya.

Empati, altruisme, dan kerja sama adalah kemampuan yang asing bagi mesin mana pun, dan itu sangat penting bagi kehidupan kita.

Kita tidak boleh lupa bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial.

Otak telah berevolusi selama jutaan tahun. Bisakah evolusi dibalik oleh kecerdasan buatan, teknologi baru, atau faktor lainnya?

Justru karena ini adalah produk dari jutaan tahun evolusi, dibutuhkan ribuan tahun untuk melihat perubahan di otak.

Melihat sejarah evolusi kita, tidak ada perubahan besar dalam penampilan fisik manusia selama 200.000 tahun terakhir.

Sulit untuk berpikir bahwa struktur otak akan berubah secara drastis dalam beberapa abad mendatang.

Evolusi otak juga tidak akan terbalik, karena fungsi yang dibutuhkan untuk tugas-tugas tertentu, seperti menghafal data atau melakukan operasi matematika tertentu, membutuhkan lebih banyak fungsi.

Tetapi penting untuk waspada terhadap stres yang ditimbulkan oleh ketergantungan yang berlebihan pada teknologi, karena kita tahu bahwa stres kronis berdampak negatif pada kesehatan dan otak kita.

Apakah kita lebih didominasi otak kita, atau emosi kita?

Ini pertanyaan yang sangat bagus. Kita dipengaruhi keduanya, karena dua hal itu bukanlah hal yang berbeda.

Emosi bertempat di otak kita dan merupakan pusat dari kehidupan kita.

Emosi mempengaruhi emosi kita karena kita mengingat dengan jelas hal-hal yang membuat emosi kita tergerak.

Misalnya, semua orang mengingat apa yang mereka lakukan pada 11 September 2001 ketika Menara Kembar diserang, tapi tak ada yang mengingat apa yang mereka lakukan sehari sebelumnya.

Selain itu, emosi memengaruhi proses pengambilan keputusan kita.

Dengan cara yang disederhanakan, kita memiliki dua sistem untuk membuat keputusan: satu otomatis dan cepat, yang merupakan produk mekanisme evolusi, dan yang lainnya, lambat dan rasional.

Selama satu hari, kita membuat banyak keputusan yang membutuhkan waktu seperseribu detik. Pilihan-pilihan ini didasarkan pada mekanisme otomatis yang ditentukan oleh emosi.

Pada kenyataannya, hanya ada sedikit keputusan yang kami buat dengan sistem lambat, di mana kita mempertimbangkan pro dan kontra dari suatu situasi.

Kita dibimbing oleh emosi kita; rasionalitas biasanya merupakan penjelasan setelah kita membuat keputusan.

Apa dampak pandemi virus corona terhadap otak kita?

Pandemi berdampak negatif pada kesehatan mental kita. Kita terkena stres tingkat tinggi. Rutinitas kita benar-benar terganggu, kita khawatir dan terpisah dari orang yang kita sayangi.

Tidak melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan, dan melakukan hal-hal yang tidak biasa kita lakukan membutuhkan banyak upaya.

Demikian pula, kelesuan ekonomi yang diakibatkan oleh situasi ini menciptakan tekanan sosial yang serius yang dianggap sebagai faktor risiko lain untuk gangguan psikologis.

Penelitian menunjukkan bahwa masa karantina yang lama dikaitkan dengan stres pasca-trauma, kelelahan emosional, depresi, insomnia, kecemasan, mudah tersinggung, dan frustrasi.

Itulah mengapa sangat penting untuk menjaga kebiasaan hidup sehat, seperti tidur malam yang nyenyak, makan makanan yang sehat, dan menghindari tembakau, alkohol, dan obat-obatan.

Kita perlu melakukan rutinitas sebanyak mungkin, dengan jam-jam teratur untuk tidur, bangun, bekerja, belajar dan berolahraga.

Dan kita harus memperkuat ikatan sosial kita, karena ikatan ini membantu kita menumbuhkan rasa normalitas dan memungkinkan kita untuk berbagi apa yang kita rasakan.

Di banyak tempat, tidak mungkin bertemu secara fisik, tetapi kita dapat tetap terhubung berkat teknologi.

Kita juga harus mengurangi waktu luang: kita tidak dapat mengharapkan tingkat kinerja, fokus, atau energi yang sama setelah berbulan-bulan menghadapi pandemi. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: