Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

UU Cipta Kerja: Harmonisasikan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah

UU Cipta Kerja: Harmonisasikan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah Kredit Foto: Katadata
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejumlah pro dan kontra bermunculan seiring proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu. Hal ini menjadi perhatian publik khususnya pemerhati lingkungan. Hal ini dapat dimengerti karena Undang-undang yang juga disebut Omnibus Law Cipta Kerja ini dianggap memiliki banyak dampak negatif bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Menurut Tim Serap Aspirasi Lingkungan Hidup, Prof. Budi Mulyanto, banyak sekali tantangan yang dihadapi Indonesia di antaranya angka pengangguran, kemiskinan, serta impor pangan yang masih tinggi. Ia menganggap, UU Cipta Kerja dapat mengupayakan penciptaan kerja menjadi lebih terukur.

Baca Juga: Pemerintah Minta Sidang Gugatan UU Ciptaker Ditunda, Ini Alasannya...

"Jadi ini mengharmoniskan kebijakan pemerintah di pusat maupun daerah untuk menunjang iklim investasi bagi penciptaan lapangan kerja. Memutus rantai birokrasi mencari izin saja bisa bertahun-tahun, nah ini bisa dipercepat," jelas Budi dalam webinar Katadata dengan tema "Aturan Turunan UU Cipta Kerja", Rabu, (10/2/2021).

Selain itu, regulasi pelaksaan UU Cipta Kerja terdapat 40 RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan empat Perpres (Peraturan Presiden) untuk menampung aspirasi masyarakat dan disampaikan pada pemerintah. Kata Budi, masukan dan aspirasi dari masyarakat sangat beragam sehingga tidak semua diterima.

"Masukan dan aspirasi masyarakat kita coba analisis, kualifikasikan, dan pertimbangkan. Ada yang diterima penuh, ada juga yang ditolak, tapi aspirasi sangat penting untuk improvement RPP yang ada," tambahnya.

Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ari Sujianto, memaparkan bahwa Peraturan Pemerintah yang diganti merupakan izin lingkungan, pengelolaan kualitas dan pencemaran air, udara, hingga Limbah B3. Izin usaha tidak memasukkan persyaratan lingkungan, tetapi telah tercantum dalam izin lingkungan.

"Pada saat analisis dampak lingkungan, itu melibatkan uji kelayakan. Tidak dengan mengurangi kualitas lingkungan, mengalihkan beban. Serta tetap menjaga standar, integrasi, dan pemahaman konsep," ucap Ari.

Ari menambahkan, UU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen amdal. Menurut Ari, pelibatan masyarakat dilakukan secara proporsional.

"UU Ciptaker memberikan perhatian lebih terhadap kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha oleh pemrakarsa kegiatan dengan tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM pembina masyarakat terkena dampak," ujarnya.

Kata Ari, pengaturan pelibatan masyarakat di luar masyarakat terkena dampak langsung dilakukan oleh pemerintah melalui Tim Uji Kelayakan (TUK). Dalam UU Ciptaker, dalam penyusunan amdal, masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang terdampak langsung dan LSM pembina langsung masyarakat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Nur Hidayati, berpendapat bahwa keputusan dalam UUCK tidak melalui partisipasi masyarakat. Akhirnya, membuat dampak pada lingkungan di mana masyarakat tinggal.

"Kami bisa mengatakan bahwa proses partisipasi itu sangat rendah, nonparticipant karena tidak ada keterlibatan masyarakat, hanya ada pada yang memiliki kepentingan atau substansi," ungkapnya.

Hal tersebut selaras dengan pernyataan Prof. Andri. G. Wibisana Ph D, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut dia, pemerintah kurang mengontrol izin lingkungan.

"Izin dalam bidang lingkungan itu penting untuk mengontrol eksternalitas. Jadi, izin lingkungan lebih penting dibanding izin usaha," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: