Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

AstraZeneca Sebabkan Trombosis di Otak, Simak Faktanya!

AstraZeneca Sebabkan Trombosis di Otak, Simak Faktanya! Kredit Foto: Republika
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kasus trombosis di otak yang berakibat fatal, memicu dihentikannya penggunaan vaksin AstraZeneca di beberapa negara. Tapi apa sebenarnya trombosis ini? Apakah penghentian vaksinasi sudah tepat?

Semua negara yang menghentikan sementara penggunaan vaksin AstraZeneca mengajukan argumen yang sama. Mereka melakukan antisipasti dan tindakan berhati-hati.

Sejauh ini sudah ditemukan 7 kasus langka trombosis pada pembuluh darah sinus di otak dari penyuntikan 1,6 dosis vaksin AstraZeneca di Eropa. Tiga kasus berakhir dengan kematian pasien.

Namun lembaga pengawas obat-obatan Eropa (EMA) sudah menegaskan, sejauh ini belum ada bukti kaitan langsung antara pemberian vaksin AstraZeneca dengan kasus trombosis, berdasar data yang dimiliki lembaga ini. Berbasis pernyataan EMA ini, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya akan melanjutkan vaksinasi.

Baca Juga: Perhatian, BPOM Nyalakan Lampu Hijau Penggunaan Vaksin AstraZeneca

Rumah sakit Greifswald di utara Jerman mengumumkan sudah berhasil menemukan penyebab trombosis di otak akibat vaksinasi, dan sudah mengembangkan terapinya. Informasi ini juga sudah dibagikan ke seluruh rumah sakit di Eropa.

Fakta apa yang sudah diketahui?
Pada kasus orang yang mengalami cerebral venous sinus thrombosis (CVST) juga diketahui terjadinya defisiensi trombosit dalam darah, yang bisa mempengaruhi terjadinya penggumpalan darah.

Pada kasus CVST, penggumpalan darah menyumbat vena pada otak, yang fungsinya menyalurkan darah yang kandungan oksigennya rendah ke jantung. Jika aliran darah tidak lancar, tekanan pada otak akan meningkat dan di kawasan itu bisa terjadi pendarahan. Pada kasus terburuk CVST bisa memicu stroke yang berakibat fatal.

Walau begitu, trombosis tipe ini tergolong langka. Angka insidennya antara dua sampai lima kasus per satu juta orang per tahun. Namun riset terbaru dari Australia menunjukkan jumlah kasus yang lebih tinggi, rata-rata 15,7 kasus per satu juta orang per tahun.

"Berarti estimasi insiden aktual jauh lebih rendah antara empat kali hingga delapan kali lipatnya," ujar Paul Hunter, profesor kedokteran dari University of East Anglia.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: