Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gak Berhenti di TMII, Pemerintah Bakal Buru Terus Aset Keluarga Soeharto

Gak Berhenti di TMII, Pemerintah Bakal Buru Terus Aset Keluarga Soeharto Kredit Foto: Antara/Antara

Alasan pengambilalihan ketiganya beragam. Kalau TMII karena tidak setor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Penerimaan negara kan ada dua, pajak dan non pajak. Kalau pajak mereka bayar pajak, tapi kalau PNBP memang selama ini belum ada,” lanjutnya.

Alasan TMII tak pernah bayar PNBP dikarenakan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 tentang pengelolaan TMII yang dilakukan YHK belum diatur bagaimana PNBP tersebut. Dengan beralihnya pengelolaan, diharapkan aset milik negara itu dapat berkontribusi menghasilkan PNBP.

“Jadi sekarang kita harus jelas kalau BMN digunakan, dimanfaatkan oleh pihak lain apalagi pengusaha itu harus ada kontribusi tetapnya, profit sharing-nya,” jelas Encep.

Sementara, pengambilalihan Granadi setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melakukan penyitaan terhadap aset senilai sekitar Rp 242 miliar dari total 113 rekening milik Yayasan Supersemar. Termasuk di dalamnya vila di Mega Mendung. Nah, Yayasan Supersemar diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun.

Kata Encep, barang yang sudah disita oleh negara itu otomatis menjadi BMN dan dikelola oleh pemerintah. “Gedung Granadi dan aset di Megamendung, sepanjang itu BMN dikelola DJKN,” bebernya.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Ngabalin menyatakan, prinsipnya di era kepemimpinan Jokowi semua aset negara yang dikelola pihak ketiga harus dikembalikan demi kepentingan rakyat.

“Pengelolaannya bisa mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi kepentingan rakyat,” jawab Ngabalin saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

Namun, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didiek Junaidi Rachbini mengkritik cara negara mengambil aset milik keluarga Soeharto. Menurutnya, pengambilalihan aset tanpa melalui proses hukum, sama saja dengan merampas paksa.

“Perampasan hak yayasan hak masyarakat yang juga punya dasar hukum,” kata Didiek kepada Rakyat Merdeka.

Dia khawatir kejadian ini menular kepada sejumlah yayasan lain yang tidak menyetor pemasukan ke negera. “Kalau dengan alasan TMII tidak menghasilkan uang untuk negara nanti yayasan-yayasan yang tidak punya kontribusi bisa dirampas oleh negara,” sebut mantan politisi PAN itu.

Dia mensinyalir ada pihak-pihak yang sengaja membisikkan Presiden Jokowi untuk menyapu bersih aset yang dikelola Tommy Soeharto dan keluarga. “Mungkin motifnya seolah-olah itu seperti masa revolusi, apa saja bisa diambil oleh negara,” ucapnya.

Perampasan ini, dianggapnya, tindakan sewenang-wenang. Bertanda negara sudah bersikap represif otoriter. “Mengambil alih aset pihak lain tanpa proses hukum yang legal adalah perampasan yang ilegal,” tekan mantan anggota DPR Komisi XI itu.

Sementara itu, Sekretaris YHK, Tria Sasangka menyatakan pihaknya tidak pernah membebani ataupun merugikan negara sebagai pengelola TMII selama 44 tahun terakhir. Menurutnya YHK malah selalu memberikan bantuan anggaran jika TMII memiliki masalah keuangan untuk pembangunan maupun perawatan TMII.

“Ini sudah sesuai amanah dari Keppres 51 tahun 1977 sehingga dengan demikian YHK tidak pernah membebani dan merugikan keuangan negara sebagai pengelola barang milik negara,” kata Sasangka dalam keterangannya.

Yayasan juga tidak pernah sama sekali meminta bantuan anggaran pemerintah dalam pengelolaan TMII sejak 44 tahun terakhir.

“Dalam pelaksanaan pengelolaan TMII selama ini YHK sebagai penerima tugas negara tidak pernah mengajukan atau meminta kebutuhan anggaran dari pengelolaan TMII kepada negara atau pemerintah,” ungkap dia.

Kebutuhan anggaran, lanjutnya, yang tidak dapat tercukupi pengelolaan, pemeliharaan dan pelestarian TMII ditanggung oleh YHK.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: