Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

3 Hal yang Jadi Tantangan Implementasi Pajak Digital di Indonesia

3 Hal yang Jadi Tantangan Implementasi Pajak Digital di Indonesia Kredit Foto: Mekari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia perlu mengatur implementasi kebijakan perpajakan digital untuk menanggapi situasi ekonomi digital yang terus bergerak dinamis. Namun, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi pemerintah untuk dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut.

"Ekonomi digital terus bergerak dinamis dan hal ini perlu direspons oleh regulasi yang juga responsif dan mampu menjawab permasalahan yang muncul," ungkap Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dalam siaran pers yang diterima Warta Ekonomi, Jumat (21/5/2021).

Menurut Pingkan, ada tiga hal yang menjadi tantangan implementasi kebijakan perpajakan digital di Indonesia.

Pertama, PSE lingkup privat yang menjadi sasaran wajib pajak untuk PPh nantinya dihadapkan dengan situasi yang tidak menentu. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakpastian dalam menentukan proporsi keuntungan usaha yang didapat di Indonesia. Selain itu, proses pembagian hak pengenaan pajak dengan pihak berwenang di negara asal perusahaan terkait juga tidak bisa dipastikan.

Kedua, kewajiban PPN juga membutuhkan sistem yang berfungsi dengan baik sehingga proses memungut, melaporkan, dan membayar PPN dapat berjalan lancar. Hal ini untuk menghindari Indonesia dari kesulitan yang muncul akibat rendahnya kepatuhan dan kurangnya penegakkan pelaksanaan kebijakan, serupa dengan yang dialami oleh Uni Eropa.  Sementara itu, PMK Nomor 48 Tahun 2020 tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus ketidakpatuhan.

Terakhir, Indonesia memiliki regulasi yang tumpang tindih.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 dan tata cara pelaksanaannya dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020 merumuskan persyaratan bagi Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE) asing untuk membuka Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A) di Indonesia. 

Akan tetapi, ketentuan ambang batas minimum 1000 transaksi per tahun tidak sesuai dengan kriteria yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 6 (7) yang menyebutkan persyaratan berdasarkan jumlah penjualan dan bukan jumlah transaksi.

Mengingat pajak digital yang masih tergolong baru, bahkan di tataran global belum ada kesepakatan yang sifatnya multilateral, Indonesia perlu terus memantau hasil perundingan OECD perihal pengenaan pajak. Pajak sebaiknya jangan menjadi beban dan mendisinsentif pelaku industri untuk menjalankan bisnisnya terutama terkait dengan pemberlakuan PPh badan.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: