Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Walah Dalah! Ternyata Masih Banyak Emiten di Indonesia yang Belum Layak Masuk Asean

Walah Dalah! Ternyata Masih Banyak Emiten di Indonesia yang Belum Layak Masuk Asean Kredit Foto: IICD
Warta Ekonomi, Jakarta -

Setelah 10 tahun implementasi Asean Corporate Governance Scorecard (ACGS) ternyata masih banyak perusahaan emiten di Indonesia yang belum layak masuk kualifikasi Asean. ACGS adalah penghargaan yang memberikan penilaian atas praktik tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

Hal itu diungkapkan dalam webinar ”The 10th ACGS Implementation: Road to ESG in Indonesia" yang diselenggarakan IICD di Jakarta, Kamis (27/5/2021). Acara dibuka Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan dihadiri sejumlah pembicara, antara lain Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen.

Dalam presentasinya Corporate Governance Expert Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD), James Simanjuntakyang pernah mewakili OJK di ACGS 2013-2015 memaparkan IICD membagi perusahaan emiten dalam dua cluster berdasarkan kapitalisasi, yakni big cap dan middle cap. Dalam kedua cluster yang dilakukan dan dibagi dalam lima level, diharapkan minimal skornya adalah 60. "Di bawah 60 dianggap kurang, dan tidak layak masuk Asean," jelasnya.

Baca Juga: Merger dan Lahirkan GoTo, BEI Gelar Karpet Merah Buat Gojek dan Tokopedia Masuk Pasar Modal

Hasilnya, beberapa perusahaan sudah masuk level 5. Hampir 10 perusahan berhasil mendapatkan skor di atas 100. Dan dalam kurun 10 tahun tersebut ada pertumbuhan skor dari 43,4 pada 2012 menjadi 73,65 pada 2020.

"Dari parameteri penilaian, mulai dari pemegang saham sampai dengan tanggungjawab Dewan (direksi / komisaris) terjadi peningkatan. Tapi tiga tahun terakhir penguatan tersebut mengalami stagnan. Dari 72,57 pada 2018, tahun 2020 hanya bertambah menjadi 73,65. Ini perlu kerjasama dengan OJK, supaya minimal bisa masuk level 3," ungkapnya.

James merasa prihatin pada level 1. Karena pada 2017 ketika penilaian pada perusahaan dengan kapitalisasi pasar Rp 101-200 miliar skor yang didapat 63,12, tapi hingga 2020 hanya naik menjadi 65,4. Kenaikan yang tidak signifikan. Skor dari 200 perusahaan pun cuma naik dari 63,49 menjadi 69,52. Dari 200 perusahaan, nilai tertinggi baru 104 pada 2017, sempat naik 123 pada 2019, tapi 2020 turun jadi 119,3. Tapi yang lebih mengkhawatirkan James, nilai terendah pada 2020 bahkan ada yang skornya masih 38,85.

"Harusnya tidak mungkin terjadi jika misalnya perusahaan itu comply dengan regulasi yang dibuat OJK. Karena cukup banyak indikator dari ACGS yang dituangkan dalam regulasi, mengapa masih ada yang skornya di bawah 60," kritiknya.

Hasil penilaian terhadap 200 emiten dengan market kapitalisasi terbesar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini akan diumumkan pada acara “The 12th IICD CorporateGovernance Awards” yang dilaksanakan pada 31 Mei 2021. Acara ini harusnya digelar tahun lalu tapi tertunda karena pandemi Covid-19.

Baca Juga: Nahas! Pasar Modal Berdarah-Darah Se-Asia, IHSG Ambruk Sejadi-Jadinya!

Dalam sambutannya, Sigit Pramono, Chairman IICD mengatakan CG Conference yang diselenggarakan IICD diharapkan mampu menjadi media diskusi bagi peningkatan praktik-praktik CG ke semua perusahaan publik di Indonesia serta meningkatkan kesadaran pentingnya Environmental, Social and Governance (ESG) di kalangan emiten dan investor pasar modal.

“CG Conference kali ini sebagai bentuk dukungan pengarusutamaan ACGS di Indonesia terutama dalam meningkatkan praktik tata kelola perusahaan. ACGS dan hasilnya juga digunakan oleh regulator sebagai acuan meninjau aturan dan pedoman tata kelola perusahaan untuk meningkatkan praktik tata kelola perusahaan terbuka”, ujar mantan Dirut Bank BNI.

Dalam perkembangannya, IICD mendukung pengenalan konsep ESG di Indonesia dimana konsep tersebut pertama kali diusung oleh gerakan “Who Cares Wins” dari United Nations Global Compact tahun 2004. “ESG menjadi faktor penting yang perlu diidentifikasi oleh perusahaan untuk mengelola resiko serta memungkinkan organisasi untuk menyesuaikan dengan peluang-peluang baru, terlebih lagi para investor global menggunakan kriteria ESG ini untuk menghindari investasi yang beresiko”, imbuhnya.

Hoesen menyebut pelaksanaan GCG di Indonesia i kebutuhan yang tidak terelakkan. "ESG menjadi tantangan bagi penciptaan prinsip keuangan berkelanjutan. OJK terus berkomitmen dalam meningkatkan pelaksanaan prinsip keuangan berkelanjutan dengan menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan”, jelasnya.

Sejalan dengan hal itu, OJK pada tahun 2017 juga telah menerbitkan POJK No. 51 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik. OJK senantiasa mendukung emiten dan perusahaan publik pada indeks penguatan ESG.

Dalam mendukung GCG di Indonesia, IICD bersama dengan OJK, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) serta beberapa institusi pegiat GCG menerbitkan Road Map Tata Kelola Perusahaan Indonesia serta Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka yang bertujuan untuk meningkatkan praktek-praktek Tata Kelola Emiten dan Perusahaan Publik agar dapat bersaing di kawasan ASEAN.

Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Mardiasmo yang juga berbicaradalam IICD CG Conference menjelaskan peran KNKG berdasarkan keputusan Menko Perekonomian nomor KEP/49/M.EKON/11/2004.

“KNKG dalam proses melakukan penyusunan kembali, penyempurnaan serta sosialisasi terkait regulasi untuk penerapan tata kelola perusahaan (GCG) dalam sektor korporasi dan publik di Indonesia untuk memperbaiki tingkat governansi Indonesia, baik di tingkat regional maupun internasional”, jelasnya.Lebih lanjut lagi, KNKG mendukung penerapan konsep ESG di Indonesia tentunya dengan kolaborasi berbagai pihak.

Baca Juga: BEI Kaji Aturan Market Maker untuk Tingkatkan Likuiditas Pasar Modal

Vita Diani Satiadhi , Direktur Eksekutif IICD, yang sekaligus menjadi host IICD CG Conference,menyampaikan secara garis besar rekomendasi dalam penerapan ESG di Indonesia. “Pertama, Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap strategi dan implementasi ESG di perusahaan. Kedua, peran penting dari Board dan institutional imvestor dalam membahas issue CG & ESG. Ketiga, perusahaan yang menerapkan prinsip ESG, akan mempunyai kinrja yang lebih baik dibanding perusahaan yang tidak menerapkan ESG. Terakhir, bank yang menerapkan prinsip-prinsip ESG akan mendapatkan perhatian lebih besar dari investor”, jelasnya.

Sebagai rangkaian acara -selain CG Conference-, tahun ini IICD kembali memberikan penghargaan kepada emiten-emiten yang telah mengimplementasikan praktek-praktek tata kelola perusahaan yang baik (GCG) pada tahun sebelumnya dan tidak terkait kasus serius yang bertentangan dengan prinsip-prinsip GCG pada acara “The 12th IICD Corporate Governance Awards”.

Pemberian apresiasi kepada para emiten dengan praktek CG terbaik (BigCap & MidCap) dibagi menjadi 10 kategori, yaitu: Best CG Overall, Best Financial Sector, Best Non-Financial Sector, Best SOE/BUMN, Best Right of Shareholders, Best Equitable Treatment of Shareholders, Best Role of Stakeholders, Best Disclosure & Transparency, Best Responsibility of the Boards, Most Improved, yang akan diumumkan pada puncak acara awards 31 Mei di Ball Room Financial Hall, 2nd Floor, Jakarta

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: