Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Persempit Ruang Gerak Mafia, Ini Langkah Prabowo Belanja Alutsista

Persempit Ruang Gerak Mafia, Ini Langkah Prabowo Belanja Alutsista Kredit Foto: Checkitout.info
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, melakukan modernisasi sistem pertahanan melalui upaya negosiasi langsung dengan pabrik alat utama persenjataan (alutsista) dinilai tepat. Langkah ini akan mempersempit ruang gerak mafia alutsista.

"Ini patut didukung semua pihak," kata pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi di Jakarta, baru-baru ini.

Fahmi menyoroti, opsi rencana pemenuhan kebutuhan alutsista menggunakan skema pinjaman luar negeri. Menurutnya, jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak besar.

Dijelaskannya, PDB Indonesia tahun 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun. Angka yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista selama 25 tahun itu sejatinya berada pada kisaran 11,4 persen.

Baca Juga: Jenderal Gatot Buka-bukaan Mafia Alutsista Ada, tapi Gak Diapa-apain

Baca Juga: Pak Prabowo, Ada Pesan dari Tokoh Papua Nih: Benahi Alutsista Pak, Jangan Sibuk Urus Singkong!

Baca Juga: Rachmat Gobel: Evaluasi Alutsista TNI AL!

"Apalagi jika angka Rp 15.434,2 triliun itu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, maka persentase jumlah yang direncanakan tersebut dari PDB akan tampak makin kecil lagi. Hanya 0,7 persen setiap tahunnya," jelas Fahmi.

Artinya, kata dia, jika rancangan itu disetujui Presiden. Indonesia harus mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1.5 persen dari PDB per tahun. Asumsinya, sebanyak 0,78 persen bersumber dari anggaran regular dan sekitar 0,7 persen bersumber dari pinjaman luar negeri. 

Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab. Pembangunan kesejahteraan terus berjalan, pembangunan pertahanan dapat ditingkatkan.

Namun menyangkut skema pinjaman luar negeri, dia mengingatkan, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan. Misalnya soal tenor dan bunga pinjaman. 

"Diplomasi pertahanan harus terus dilakukan untuk menjajaki peluang pinjaman berbunga rendah dengan tenor panjang. Setidaknya 2 persen dengan tenor minimal 12 tahun agar tidak membebani negara," jelas Fahmi.

Fahmi mendorong agar kemampuan negosiasi juga harus terus ditingkatkan. Sebab dalam belanja impor ada skema offset transfer teknologi, kerja sama produksi hingga fasilitas pemeliharaan dan perbaikan yang harus dipertimbangkan. "Ini harus dilihat mana yang paling menguntungkan," ujarnya.

Rancangan itu, lanjutnya, juga harus dibarengi dengan sejumlah langkah. Misalnya, penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). "Nah ini belum tergambar dari draft Perpres yang beredar," sambung dia. 

Padahal, Undang-Undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, KKIP yang dibentuk melalui Perpres No.42 Tahun 2010 harus menjadi tempat bertemunya stakeholder terkait pengadaan alpal. Yaitu, pengguna sebagai perencana kebutuhan, industri pertahanan sebagai penyedia, serta elemen pemerintah yang berperan sebagai fasilitator anggaran dan litbang sekaligus sebagai penyusun dasar hukum.

Susunan keanggotaan KKIP menurut Perpres No.42/2010: Ketua KKIP adalah Menteri Pertahanan, Wakil Ketua adalah Menteri BUMN, Sekretaris adalah Wakil Menteri Pertahanan dan anggotanya adalah Menteri Perindustrian, Menteri Riset dan Teknologi, Panglima TNI, dan Kapolri. Ini sebenarnya selaras dengan rancangan Perpres yang beredar. Tapi tak disebutkan sebagai KKIP.

Dengan adanya peraturan perundangan tersebut, Fahmi berharap, KKIP dapat memfasilitasi upaya koordinasi dalam pengadaan alpal yang selaras dengan cita-cita kemandirian melalui pembangunan industri pertahanan. 

"Ini berarti keterlibatan para stakeholder sudah terbangun sejak tahap perencanaan kebutuhan dan litbang, pengadaan, penggunaan, hingga tahap purna pakai (disposal)," ujarnya.

Di samping itu, lanjutnya, koordinasi juga penting untuk menyelaraskan kebijakan dalam pengembangan sumber daya, pembangunan industri pendukung, upaya penyehatan industri pertahanan nasional, harmonisasi regulasi, dan lain-lainnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: