Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Lingkungan: Peningkatan Konsumsi BBM Berkualitas Turut Perbaiki Kualitas Udara

Pakar Lingkungan: Peningkatan Konsumsi BBM Berkualitas Turut Perbaiki Kualitas Udara Kredit Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) berkualitas dengan nilai oktan (research octane number/RON) tinggi membuat kinerja pada mesin kendaraan bisa lebih maksimal. Dengan begitu proses pembakaran jadi lebih sempurna, sehingga gas buang yang dihasilkan menjadi lebi sedikit dan kadar emisi juga lebih bisa ditekan. Karenanya, dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan relatif berkurang, sehingga secara garis besar kualitas udara juga bisa lebih ditingkatkan. “Dengan kualitas BBM yang bagus, maka kandungan sulfur jadi semakin kecil. Artinya dengan semakin banyak kendaraan yang menggunakan BBM berkualitas, maka otomatis emisi yang keluar di udara semakin berkurang, sehingga tingka polusi juga lebih bisa ditekan,” ujar Guru Besar Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia (UI), Profesor Budi Haryanto, Selasa (29/6).

Sementara itu, menurut Budi, salah satu dampak buruk dari polusi udara adalah dapat memunculkan berbagai penyakit kronis yang notabene merupakan komorbit dari COVID19, seperti penyakit jantung, diabetes dan juga gangguan pada paru-paru. Karena itu, adanya tren peningkatan konsumsi Pertama Series yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir disebut Budi merupakan kabar baik di tengah pandemi COVID19 yang tengah terjadi saat ini. “Saya mengapresiasi (tren) itu. Harus dipertahankan dan bahkan terus ditingkatkan. Bahkan akan lebih baik lagi kalau penyediaan BBM dengan RON rendah perlahan bisa mulai dikurangi atau malah sama sekali dihentikan, karena dampaknya sangat buruk terhadap kualitas udara,” tutur Budi.

Dijelaskan oleh Budi, saat ini sudah banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan klinis antara tingkat polusi udara satu wilayah dengan ingkat kematian penderita COVID19 di wilayah tersebut. Harvard University, misalnya, telah memiliki penelitian yang mengungkap bahwa pasien COVID19 di wilayah yang tingkat polusinya tinggi polusi rupanya memiliki risiko kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang berada di wilayah rendah polusi. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa mereka yang tinggal di wilayah polusi udara tinggi memiliki risiko 4,5 kali lipat lebih tinggi untuk meninggal akibat COVID19 dibanding masyarakat yang tinggal di wilayah dengan tingkat polusi udara yang lebih rendah. “Secara teori, temuan ini dikaitkan dengan fakta bahwa banyak komorbit yang diderita oleh orang-orang di daerah tinggi polusi akibat pencemaran udara tadi,” ungkap Budi.

Penelitian-penelitian serupa, lanjut Budi, telah juga dilakukan di negara-negara Eropa, seperti Italia, Perancis, Spanyol, dan Jerman. Bahkan European Public Health Alliance telah menyatakan bahwa polusi udara dapat mengurangi peluang seseorang untuk bertahan hidup lebih lama dari wabah COVID19. Karenanya, World Health Organization (WHO) juga mengimbau agar setiap negara dapat lebih memperhatikan faktor risiko polusi udara dan kaitannya terhadap pengendalian COVID19 di wilayahnya. “WHO menyebutkan bahwa negara dengan tingkat polusi udara tinggi seperti Indonesia harus mempertimbangkan faktor risiko polusi udara tersebut dalam setiap kebijakannya untuk persiapan pengendalian COVID19,” tegas Budi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma

Bagikan Artikel: