Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah, Jangan Lindungi Pembajakan Buku!

Pemerintah, Jangan Lindungi Pembajakan Buku! Kredit Foto: Perpustakaan Nasional
Warta Ekonomi, Jakarta -

Litbang CNN Indonesia pernah melansir data ketika masyarakat mengalami pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19, banyak orang yang gemar membaca buku digital mengisi waktu luang. Tidak kurang 1,5 miliar orang di dunia mengakses situs membaca.

Tingginya antusias masyarakat membaca buku digital malah dimanfaatkan sekelompok pihak dengan cara yang nakal. Industri pembajakan malah tumbuh subur dan terkesan didiamkan. Riset IKAPI pada 2019 menemukan bahwa 75% penerbit menemukan bukunya dibajak.

Baca Juga: Duta Baca: Harus Ada Payung Hukum untuk Ekosistem Perbukuan Indonesia

Sayangnya, penerbit tidak bisa melaporkan market place walaupun mereka menyediakan tempat peredaran bajakan. Pelaku pembajakan berlindung di balik Surat Edaran Menkominfo Nomor 5/2016. Padahal, Undang-Undang Nomor 28/2014 yang melarang pembajakan masuk delik aduan sehingga tanpa pengaduan tidak bisa diproses.

"Ini merepotkan kalau harus didasari aduan. Menyita waktu," ungkap Content Manager Gramedia Digital, Bagus Adam, pada Talk Show Pandemi dan Masa Depan Buku Digital yang digelar Perpustakaan Nasional, Kamis (1/7/2021).

Meski demikian, lanjut Bagus, pihaknya tidak mau berpolemik panjang soal buku pembajakan. Gramedia justru memilih "jalur melawan pembajakan", misalnya dengan menyediakan paket berlangganan murah, menyediakan perpustakaan umum digital, bekerja sama dengan market place melawan pembajakan, bersinergi dengan penulis/pengarang, hingga mendukung tim pemberantasan pembajakan yang dibentuk IKAPI.

"Industri buku bukanlah industri gratisan. Namun, jangan sampai pemerintah seolah-olah melindungi para toko bajakan," tambah Bagus.

Sementara itu, Co-founder Storial.co Brilliant Yotenega sependapat dengan Bagus kalau industri buku bukanlah industri gratisan. Bahkan, profit (keuntungan) yang didapat oleh penulis hanyalah 10%. Belum lagi daftar tunggu buku untuk dipajang di toko buku yang bisa memakan waktu 6–12 bulan.

Efek pandemi memang memberi pukulan telak bagi industri buku. Jika pada 2019 berhasil ada 41.259 judul yang beredar, pada 2020 menurun cukup signifikan menjadi 32.935 total judul yang beredar. Di satu sisi, apakah buku digital mampu menjawab persoalan distribusi buku yang belum merata? Kemenkominfo mencatat, 196 juta penduduk terkoneksi dengan internet. 

"Tinggal mengedukasi masyarakat bagaimana mengelola literasi digital secara baik dalam kehidupan sehari-hari," terang Duta Baca Indonesia Gol A Gong.

Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpustakaan Nasional, Adin Bondar, mengatakan bahwa meski pandemi, kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan tetap dijamin. "Masyarakat berpengetahuan adalah jaminan untuk mereka kreatif, inovatif, dan produktif," kata Adin.

Perpustakaan Nasional sejak pandemi sudah menghadirkan berbagai fitur layanan digital seperti iPusnas, e-resources, Khastara, dan layanan tanya jawab Ask a Librarian. Kehadiran layanan tersebut memudahkan masyarakat mengakses pengetahuan tanpa harus mendatangi langsung.

"Buku dan perpustakaan bukan hanya sekadar mencerdaskan, tetapi juga mencerahkan," pungkas Adin.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: