Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 3: Metta Dharmasaputra

The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 3: Metta Dharmasaputra Kredit Foto: Instagram/Metta Dharmasaputra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Budaya membaca menjadi fondasi dasar bagi pendidikan suatu bangsa. Tingginya budaya membaca dapat membuat seseorang lebih memahami dan menguasai suatu ilmu pengetahuan. Menjadi kegagalan tersendiri bagi suatu bangsa yang tak berhasil menciptakan sebuah generasi yang mengedepankan budaya membaca.

Sayangnya, budaya membaca di Indonesia terbilang masih memprihatinkan. Bahkan, Indonesia pernah menduduki peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia. Dibandingkan negara-negara lain di dunia, tingkat literasi masyarakat Indonesia, baik kalangan anak-anak maupun orang dewasa, terpuruk di level terbawah.

Baca Juga: The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 2: Chacha Annissa

Tercatat, sudah banyak data tentang literasi yang menunjukkan minimnya minat membaca di Indonesia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh PISA rilisan OECD (2015), Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei. UNESCO juga menyebut, Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dalam hal literasi.

Namun, keadaan ini justru berbanding terbalik dengan keaktifan masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial yang bisa disebut sangat tinggi. Timpangnya tingkat literasi membaca dengan keaktifan bermedia sosial menjadi salah alasan mengapa banyak masyarakat masih mudah termakan berita hoaks.

Berangkat dari gambaran tersebut, Warta Ekonomi Group yang terdiri atas WartaEkonomi.co.id dan HerStory.co.id mengisiasi sebuah gerakan #BacaSampaiTuntas untuk turut menggaungkan literasi di Indonesia.

Melalui gerakan #BacaSampaiTuntas, Warta Ekonomi Group mengajak masyarakat untuk membudayakan membaca informasi secara tuntas sehingga pemahaman yang diterima menjadi utuh dan menyeluruh. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat membentengi diri dari informasi yang bersifat provokatif maupun informasi yang tidak benar.

Sebagai bagian dari campaign #BacaSampaiTuntas, Warta Ekonomi Group melakukan bincang-bincang dengan Co-Founder & CEO Katadata, Metta Dharmasaputra. Berikut ini merupakan hasil bincang-bincang jurnalis Warta Ekonomi Group Nada Saffana bersama dengan Metta Dharmasaputra.

Bagaimana tanggapan Mas Metta terhadap kondisi literasi dan minat baca di Indonesia yang terbilang masih sangat minim?

Sejak lama, tingkat literasi kita memang tidak terlalu tinggi. Apalagi saya makin khawatir dengan perkembangan media sosial, di mana orang hanya bergantung pada gadget yang bisa menghilangkan budaya baca. Bahkan, sekarang ini banyak orang yang lebih suka mendengar ketimbang membaca.

Bisa dibilang, literasi membaca yang minim itu disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai bagian dari media, langkah pasti apa yang bisa dilakukan demi menyelamatkan literasi membaca di Indonesia?

Sebetulnya masalah ini sudah sering diperbincangkan. Kita bisa melihat dari kultur dan sejarahnya jika masyarakat Indonesia lebih suka mendengar orang berbicara. Misalnya saat pertunjukan wayang, kita akan mendengar seorang dalang menceritakan sebuah kisah. Sebenarnya, kita kekurangan kultur yang berhubungan dengan membaca dan menulis. Kalau dilihat tradisi di Jepang atau Tiongkok yang gemar menuliskan sebuah hal dan nantinya akan diteruskan secara turun menurun, dalam budaya kita tidak banyak mengajarkan hal seperti itu.

Melihat kondisi sekarang sepertinya terpengaruh dengan faktor pendidikan yang tidak membiasakan untuk membaca. Jadi orang lebih banyak menghafal, bukan membaca dan menikmatinya. Kalau orang menghafal sebetulnya kan tidak menikmati, ya. Misalnya pelajaran sejarah. Saat ini pelajaran sejarah hanya diajarkan untuk hafalan, bukan dibuat menjadi suatu cerita. Sepertinya tradisi membuat atau menulis cerita ini yang kurang. Mungkin itu menjadi faktor penyebabnya.

Mungkin langkah pasti yang bisa diambil menurut saya berkaitan dengan cara mendidik anak. Penting untuk membiasakan dan mendekatkan anak dengan buku sedini mungkin, bahkan di saat dia belum bisa baca. Buatlah agar dia akrab dengan buku. Kalau dahulu sebelum anak tertidur, saya dan istri mulai membacakan cerita dan membangkitkan imajinasi si anak.

Bagaimana cara meningkatkan minat untuk membaca? Adakah tips tertentu agar terlatih untuk "betah" membaca?

Kalau itu, bisa dimulai dari apa yang kita suka. Jika senang sepak bola, mulai baca artikel yang berhubungan dengan sepak bola. Atau mungkin kalau suka mobil bisa baca artikel atau majalah seputar otomotif. Kembangkan rasa keingintahuan yang dalam. Saya juga seperti itu. Jika saya membaca sesuatu yang tidak saya suka, akan sangat membosankan. Ada banyak bacaan yang tersedia. Kemudian, cobalah untuk membuat sesuatu. Karena kalau tidak membuat sesuatu, maka tidak ada daya dorong untuk membaca.

Menurut Mas Metta, bagaimana era digital dapat memengaruhi minat baca masyarakat?

Menurut saya banyak sekali. Dengan adanya teknologi digital yang serba cepat, tradisi menulis akan makin jauh. Dulu jika jurnalis ingin mencari narasumber, kita harus prepare sebaik mungkin karena dia akan diskusi dan menulis dengan narasumber. Jika menimbulkan kesalahan, akan sulit dikoreksi. Makin berkembangnya teknologi informasi, maka pekerjaan yang dilakukan makin mudah, sehingga cenderung abai membaca. Situasi seperti ini terjadi di banyak orang karena mereka hanya klik dan dengar. Digitalisasi memang sangat challenging, tetapi opportunity-nya juga besar.

Menurut Mas Metta, bisakah budaya membaca dimulai dari sosial media?

Justru itu adalah cara yang paling mudah. Hampir semua media di dunia juga sudah menggunakan platform media sosial. Jadi yang salah bukan platform-nya karena media sosial merupakan fenomena yang luar biasa. Orang bisa mendapat informasi dengan cepat dan saling terkoneksi satu sama lain. Bayangkan jika seandainya Covid-19 ada sebelum media sosial hadir. Mau tidak mau media sosial tetap ada di kehidupan kita. Tergantung dari kita sendiri yang pintar memanfaatkannya.

Baca Juga: The Power of Baca Sampai Tuntas Eps 1: Chandra Audrey

Warta Ekonomi Group belum lama ini membuat artikel mengenai tipe-tipe orang baca berita, dan mayoritas warganet mengaku bahwa mereka merupakan tipe (1) baca judul doang dan (2) malas membaca, tetapi rajin komen. Mengapa itu bisa terjadi dan bagaimana tanggapan Mas Metta akan hal tersebut?

Sebetulnya banyak orang yang merasa saat membaca judulnya saja sudah mendapat esensinya. Padahal kan tidak, ya. Ada banyak media yang hanya ingin cari click-bait. Nah, jika tidak baca sampai habis, maka tidak akan dapat isinya. Perlu diakui bahwa media juga masih berada dalam proses untuk quality content-nya. Banyak berita dengan judul yang sensansional, padahal isinya tidak mencerminkan hal itu.

Banyak di antara kita yang malas membaca walau hanya 5 menit, seolah-olah membaca judulnya sudah dianggap sebagai isinya. Kemudian, judul beritanya langsung dikirim ke group What’s App, bukan isi beritanya. Kecepatan dalam memilah informasi ada pada group What’s App, kemudian diikuti dengan Facebook, Youtube, Instagram, dan TikTok. Karena di media sendiri kita memilih platform mana yang paling tepat untuk pendistribusian konten, dan kelimanya tadi secara berurutan mempunyai engagement terbanyak.

Menurut Mas Metta, mengapa #BacaSampaiTuntas itu penting?

Penting sekali itu. Di dalam teori penulisan berita straight news, ada tiga hal yang membentuk segitiga. Posisi paling penting berada di atas, yaitu judul. Kedua, ringkasan berita dan paragraf pembuka. Turun ke bawah berisi bagian yang tidak terlalu penting atau paparan saja. Jadi kalau buat berita yang tepat seperti itu, orang akan bisa mendapat esesensinya walau tidak membaca sampai full. Namun, jika ingin komprehensif, bacalah hingga akhir. Kembali lagi, kondisi ini bisa terjadi apabila kaidah tadi ditepati oleh si pembuat berita.

Misalnya seseorang hanya punya 10 detik untuk membaca, maka dia akan baca judul, kemudian summary atau ringkasan hingga lead-nya beritanya dapat. Jika ingin mengetahui latar belakang beserta fenomena yang terjadi, maka dia harus #BacaSampaiTuntas. Namun celakanya, banyak berita yang tidak dibuat dengan kaidah seperti itu sehingga bagian atas berisi informasi yang kurang penting, atau sengaja dibuat seperti itu untuk mencari click-bait. Dalam seperti itu, mau tidak mau harus dibaca seluruhnya.

Belum lama ini, KataData membuat survei 1.700-an responden. Menariknya, makin muda umurnya, makin tidak baik literasi digitalnya. Karena itu banyak generasi muda yang mudah terpapar hoax. Jadi ini tidak otomatis membuat seseorang yang punya gadget dan internet berkecepatan tinggi memiliki literasi digital yang tinggi, malah ini berbanding terbalik. Jadi dari sini saya khawatir, generasi muda yang dekat dengan gadget atau dunia digital makin mudah terpapar hoax karena daya baca literasi yang rendah. Data ini bisa jadi renungan bersama.

Budaya #BacaSampaiTuntas bisa diimplementasikan kepada banyak hal, apa sajakah itu?

Saat menemukan artikel menarik, maka saya akan simpan. Jadi di ponsel ini saya punya tempat untuk menaruh link untuk saya baca sampai tuntas. Karena saya mungkin mendapat artikel tersebut saat di jalan, jadi tidak mungkin hanya membaca judulnya saja. Baru di saat saya ada kesempatan akan dibaca sampai tuntas. Kenapa itu perlu? Karena untuk mendapat esensi secara keseluruhannya. Banyak artikel yang menuliskan judul yang membuat kita terpana. Padahal kalau kita membaca sampai tuntas, isinya tidak seperti yang dibayangkan.

Sedikit menyambung yang tadi, ternyata jumlah generasi muda yang percaya hoax itu besar. Paling tidak, ya sekitar 40%. Makanya pentingnya #BacaSampaiTuntas untuk mengurangi presentase itu.

Jika dalam konteks berita dan artikel di media online, menurut Mas Metta, bagaimana sih potret masyarakat dalam hal minat baca? Setujukah bila ada yang mengatakan media online jadi salah satu "sumber" penyebaran berita hoaks?

Ya, sepertinya itu sudah dari 10 tahun terakhir harus diakui dan menjadi intropeksi kalau banyak media yang berkembang dari click-bait. Karena business model-nya itu dengan mencari revenue dari traffic. Ini yang terkadang tidak dipahami oleh konsumen atau pembaca sehingga harus terus diberi edukasi, jangan sampai dijadikan komoditas oleh perusahaan media atau pembuat konten lainnya yang sedang cari uang yang memanfaatkan Anda sebagai pembaca.

Jadi seolah-olah kita dimanfaatkan untuk menghasilkan uang bagi si pembuat konten. Dengan cara apa? Dengan membuat judul yang sensasional dan bertujuan mengundang click-bait. Itu yang sedang terjadi dan terus kita benahi.

Baca Juga: Tipe-Tipe Orang Baca Berita Check! Tipe Terakhir Buang Jauh-Jauh Deh!

Banyak berita hoaks yang bisa dibilang muncul dari media online. Tindakan apa sih yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari media untuk meminimalisasi beredarnya berita hoaks?

Kalau dari media sendiri sekarang sudah ada gerakan yang dibentuk bersama Google bernama Cek Fakta. Jadi ada banyak berita yang berseliweran, seolah-olah berasal dari si medianya. Dengan adanya Cek Fakta ini, berita yang meragukan atau kontroversi akan diverifikasi oleh media terkait bersama dengan yang lain sehingga bisa disebut hoax. Itu menjadi salah satu tindakan media untuk meredam berita yang tidak benar.

Apa harapan Mas Metta terhadap peningkatan minat baca dan pemberantasan hoaks di tengah masyarakat?

Jangan tinggalkan budaya baca dalam segala bentuknya. Bacalah semua hal yang ingin kita tahu dalam semua platform, tidak harus buku, karena informasi bisa datang dari beragam platform. Intinya, budayakan membaca tanpa harus terikat platform apa pun. Ini peluangnya besar sekarang, ketika teknologi digital sedang berkembang pesat.

Satu alasan, mengapa harus membudayakan #BacaSampaiTuntas?

Kalau tidak baca sampai tuntas, persoalannya adalah informasi yang membanjiri harus disaring. Saringan ini mau tidak mau adalah diri kita sendiri. Misalnya saat Anda sakit, maka harus minum obat. Jika Anda telan semua obat yang ada tanpa membaca aturan pakai akan menjadi keracunan.

Sama seperti berita, tanpa ada memfilternya terlebih dahulu akan menjadi toxic bagi diri kita. Jangan sampai kita keracunan informasi yang berlimpah itu. Jadi, #BacaSampaiTuntas untuk menghindari kita dari keracunan informasi sampah yang berlimpah dan kita masukkan ke dalam badan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: