Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Era Reformasi Semakin Marak Oligarki, Ekonom Senior INDEF: Ini Parah Betul!

Era Reformasi Semakin Marak Oligarki, Ekonom Senior INDEF: Ini Parah Betul! Kredit Foto: Fajar Sulaiman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ekonom Senior INDEF, Didin S. Damanhuri mengungkapkan sepanjang pemerintah Presiden Soeharto dari periode awal 1980-an hingga akhir 1990-an menjadi momentum bagus dalam pertumbuhan ekonomi. Ini disebabkan kuatnya posisi pemerintahan dalam mengontrol dan mengawasi pelaku bisnis sebagai pemburu rente (rent seeker).

“Tapi sekarang setelah reformasi semakin parah, rent seeker semakin dominan. Dia membentuk oligarki bisnis dan ekonomi dan dia membeli politik di dalam setiap event politik, ini parah betul,” ujar Didin dalam diskusi virtual bertajuk Pandemi Tak Tuntas Indonesia Turun Kelas, Selasa (13/7/2021).

Baca Juga: Lesunya Sektor Industri, INDEF Sebut Faktor Indonesia Berkutat di Negara Kelas Menengah

Didin mengatakan, watak rent seeker menyebabkan pelaku industri hanya melihat bisnis yang berorientasikan akumulasi kapital semata. Di sisi lain hal-hal penguatan sektor industri seperti penguatan teknologi, inovasi, dan entrepreneur terabaikan.

Selanjutnya, demi melanggengkan akumulasi kapital, rent seeker melakukannya melalui lobi politik dengan memanfaatkan regulasi kepada elit politik. Bahkan manuver lebih jauh dilakukan dengan pembiayaan di setiap event politik seperti pemilu dan pilkada serentak kepada tokoh politik tertentu sebagai bentuk lain investasi jangka panjang. Hubungan keduanya inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi.

“Jadilah sekarang yang disebut dengan oligarki bisnis, ekonomi, politik. Ini yang menghalangi Indonesia akan sulit merebut teknologi, kapasitas inovasi, dan entrepreneurship,” ungkapnya.

Didin menambahkan di tengah menguatnya oligarki yang disebabkan begitu dominannya rent seeker, maka diperlukan upaya reformasi struktural dengan melakukan revisi paket Undang-undang (UU) Politik. Secara lebih lanjut agar partai politik dibiayai menggunakan APBN dengan konsekuensi tidak diperbolehkan menerima sumbangan dari pihak eksternal, baik pebisnis maupun rent seeker.

“Cara ini pernah dilakukan Inggris. Hasilnya sukses dan maju,” ujarnya.

Secara lebih lanjut, Didin mensimulasikan, bila partai politik yang lolos dalam batas ambang parlemen (parliamentary threshold) sebanyak 5-7 partai maka perlu diberikan kepada partai politik sebesar Rp 5-7 triliun kepada masing-masing parpol.

Ia tidak menampik, langkah tersebut dalam jangka pendek akan turut membebani APBN. Namun, jika dibandingkan korupsi BPJS Ketenagakerjaan yang menurut Didin sudah mencapai angka Rp 40 triliun, nilai subsidi kepada parpol tidak sebanding dengan potensi kerugian terlambatnya pertumbuhan ekonomi sektor industri yang disebabkan rent seeker.

“Kita perlu berpikir jangka panjang. Benar dalam jangk pendek akan sedikit membebani APBN kita. Tapi dampak lain akan terhentinya efisiensi makro ekonomi yang sekarang di atas 6,8 persen. Kalau kita berada hingga di bawah 5 sampai 4 persen akan terjadi efisiensi hingga ratusan triliun,” jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: