Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

PPKM Setengah Hati, Indef: Jangan Kaget kalau Sekarang Kita Juara Pertama

PPKM Setengah Hati, Indef: Jangan Kaget kalau Sekarang Kita Juara Pertama Kredit Foto: Antara/Wahyu Putro A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menganggap, sejak kebijakan pengetatan pertama mulai dari PSBB dan PPKM berlangsung setengah hati. Hal tersebut dapat ditemui ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, akan melakukan lockdown DKI Jakarta, tetapi upaya tersebut terganjal oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Beda dengan di Wuhan. Ketika pertama kali ditemukan di Wuhan langsung di-lockdown. DKI sumber dan banyak konflik di sana karena penduduknya banyak. Ini sangat disayangkan respons pemerintah saat awal pandemi sehingga tidak kaget kalau sekarang total angka positif Covid-19 juara pertama," ujar Direktur Program Indef, Esther Dwi Astuti, dalam diskusi PPKM: Gonta Ganti Strategi Ekonomi Kian Tak Pasti, Senin (26/7/2021).

Baca Juga: PPKM Ganti Nama, Indef: Panglima Perang Saat Ini Adalah Kesehatan

Esther mengatakan, berdasarkan sumber covid19.healthdata.org, kasus Covid-19 di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat sampai bulan Agustus. Sementara, di bulan September sampai Oktober diperkirakan kasus Covid-19 akan melandai.

Syaratnya, PPKM harus terus dilanjutkan dengan pengetatan yang berlebih pada mobilitas masyarakat. Sebab, hingga kini masih ditemukan mobilitas masyarakat dengan transportasi publik lintas kota. Pembatasan mobilitas masyarakat tersebut akan lebih efektif bila menyasar pusat transportasi publik.

"Seperti menutup bandara, terminal, yang akan membatasi masyarakat. Memang dampaknya luar biasa kepada ekonomi. Bukti empirik sudah dilakukan di China, Italia, Spanyol dan mereka sekarang sudah lebih baik," katanya.

Dalam kebijakan pembatasan yang lebih ketat, pemerintah perlu fokus menangani proses pengobatan pasien Covid-19. Termasuk, membenahi kapasitas fasilitas kesehatan dan menjaga ketersediaan obat dan oksigen agar tidak menjadi mahal di pasaran.

Hal tersebut perlu dilalukan karena masih ditemui pasien IGD yang tidak tertangani dengan baik disebabkan kelebihan kapasitas tempat tidur. Selain itu, kelangkaan obat dan oksigen masih sering ditemui. Akibatnya, harga oksigen kecil yang harga normalnya Rp700-Rp900 ribu berubah menjadi Rp3-Rp6 juta.

"Akses untuk kesehatan harus lebih baik dan tenaga medis harus profesional. Di samping itu, apa vaksinasi dan bansos terus dipercepat," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: