Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kejar Target 23% Penggunaan EBT 2025, Indonesia Disebut Jadi Negara dengan Proyek EBT Termahal

Kejar Target 23% Penggunaan EBT 2025, Indonesia Disebut Jadi Negara dengan Proyek EBT Termahal Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah Indonesia menargetkan untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 23% pada 2025. Akan tetapi, ada beberapa hambatan yang terjadi dalam pengembangan EBT, salah satunya dari regulasi pemerintah.

Country Manager for Singapore, Indonesia, and Malaysia Eaton Isabel Chong mengatakan, peraturan pelaksanaan dan pengadaan serta kurangnya standar desain yang memadai dalam pengembangan komersial untuk pemanas air dan termal menghambat pengembangan pasar EBT yang memiliki biaya rendah.

Baca Juga: Lewat REC PLN, Pabrik Otsuka Beralih Pakai Listrik EBT 16,3 MVA

"Negara ini dilaporkan memiliki proyek energi terbarukan yang paling mahal karena berbagai alasan, mulai dari peluang pembiayaan yang terbatas oleh bank lokal serta masalah pembebasan lahan," kata Isabel dalam keterangan tertulis kepada Warta Ekonomi, Jumat (30/7/2021).

Padahal, lanjut Isabel, banyak perusahaan yang mungkin belum memiliki sumber daya untuk mengadopsi EBT. Subsidi bahan bakar fosil yang berkelanjutan juga dikatakan dapat menghalangi perusahaan yang tidak memiliki sarana untuk terus menggunakan bahan bakal fosil untuk energi.

"Dengan permintaan listrik yang diproyeksikan berlipat ganda pada dekade berikutnya, penting bagi perusahaan yang menghadapi tantangan dalam mengadopsi EBT untuk mempersiapkan diri, baik dari segi investasi tambahan atau reformasi yang bisa menarik minat pemodal swasta yang lebih tinggi," paparnya.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan pihaknya, 97% perusahaan yang terlibat dalam penelitian mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong transisi EBT.

"Indikasi kuatnya niat perusahaan dan pemerintah untuk memperoleh keuntungan dalam efisiensi energi memang merupakan kabar baik, tetapi kedua kelompok perlu bekerja lebih erat lagi untuk membangun momentum mereka dan mengatasi tantangan saat ini dalam transisi energi yang sedang berlangsung," tambahnya.

Menurut Isabel, pembuat kebijakan perlu memahami kerentanan infrastruktur listrik dan menerapkan strategi untuk mencapai sektor rendah karbon yang tahan terhadap iklim. Ia merekomendasikan agar pihak berwenang dan pelaku bisnis lebih banyak berkolaborasi untuk mengatasi risiko perubahan iklim dalam pengembangan kapasitas dan strategi bisnis jangka panjang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: