Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Catatan Buruk di Era Pagebluk: Banyak Pihak yang Berkepentingan dengan Alokasi Anggaran APBN

Catatan Buruk di Era Pagebluk: Banyak Pihak yang Berkepentingan dengan Alokasi Anggaran APBN Kredit Foto: Instagram/Didik Junaedi Rachbini
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini merasa aneh dengan pembiayaan anggaran Program Ekonomi Nasional (PEN) penanganan pandemi COVID 19 sudah sangat besar akan tetapi tak sebanding dengan hasil yang dicapai.

"Anggaran Rp699 triliun digunakan untuk pemulihan ekonomi sekaligus untuk penangan pandemi.  Lalu bisa dilihat sekarang hasilnya yang dipertanyanakan. Indonesia menjadi juara dunia angka terpapar COVID yang tidak kunjung selesai. Namun pertumbuhan ekonomi tetap saja rendah. Hal itu karena dilakukan hanya sekadar ekspansi, utang digenjot habis-habisan dalam keadaan krisis dan menumbuhkan rente luar biasa besar," kata Didik dalam Webinar INDEF.

Menurutnya, ada lima masalah mengapa APBN berpotensi mendorong krisis ekonomi ke depan dan ini harus diantisipasi.

Pertama adalah politik APBN tidak berdasarkan akal sehat, politis dan tidak teknokratis.

"Politik APBN ini berasal dari faktor eksternal, kondisi demokrasi yang merosot, mundur dan tampil sebagai demokrasi siluman. Politik APBN sekarang ii merupakan turunan dari demokrasi yang sakit, tidak jelas wujud teknokratisnya, demokrasi siluman. Sebagai contoh adalah keputusan utang yang meningkat pesat dari Rp625 triliun tahun lalu menjadi Rp1.222 triliun seperti ini tidak dijalankan dengan demokrasi yang terbuka, tetapi cukup dengan Perpu 01 tahun 2020 secara sepihak oleh pemerintah," pungkasnya. 

Kedua, defisit APBN semakin berat di mana penerimaan tidak bisa mengatasi keperluan untuk pengeluaran, tanpa keterlibatan utang di dalamnya. Defisit tersebut semakin besar dari tahun ke tahun.

"Ini merupakan indikasi APBN yang sakit cukup serius," pungkas ekonom INDEF tersebut.

Ketiga, utang yang melonjak sangat besar dua tahun terakhir ini akan menjadikan APBN semakin rapuh. Ini akan menjadi warisan yang sangat krusial dan berat bagi presiden yang akan datang.  J

"Jumlah utang pemerintah sekarang mencapai Rp6.555 triliun dan pada saat yang sama utang BUMN mencapai Rp2.100 triliun.

Keempat, transfer dana ke daerah hamper mencapai Rp800 triliun, sangat besar. Tetapi pengelolaan dana daerah boros, tidak efisien dan banyak mengendap tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga tidak mendorong perumbuhan ekonomi dan tidak membantu mengatasi dampak pandemi.

Kelima adalah pemborosan dana APBN tidak semestinya, seperti pemanfaatan PMN dana yang berasal APBN untuk BUMN-BUMN yang sakit, terutama BUMN karya yang mendapat beban mengerjakan proyek infrastruktur.

"Pemborosan seperti ini menyebabkan APBN lebih bermasalah. Bisa dilihat salah satu sumber dari kekacauan itu adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif. Anggaran sosial banyak, namun keluhan juga sangat banyak. Keputusan lockdown sebenarnya tidak masalah yang pada ujungnya tidak akan menimbulkan efek yang panjang seperti saat ini. Dibanding negara tetangga Filipina yang ekonom juga tidak baik, tetapi penanganan COVID tidak buruk," terangnya. 

Memburuknya kinerja APBN dan defisit serta berlanjutnya pagebluk lebih diakibatkan pada kepemimpinan yang lemah dan absennya dimensi rasionalitas dan teknorasi yang semakin tidak profesional akibat terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan dengan alokasi anggaran APBN untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

Rasio penerimaan pajak sangat menurun sehingga Indonesia menjadi negara tergolong paling kecil dalam rasio perpajakan. Disertai adanya rent seeking tertutup yang semakin memperburuk situasi.

"Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tidak akan dapat menyelesaikan krisis ekonomi dan pandemi yang datang bersamaan," tandasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: