Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

APBN Berpotensi Krisis di Masa Mendatang, Ekonom Senior Indef: APBN Sakit Hasil Demokrasi Siluman

APBN Berpotensi Krisis di Masa Mendatang, Ekonom Senior Indef: APBN Sakit Hasil Demokrasi Siluman Kredit Foto: Instagram/Didik Junaedi Rachbini
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance, Didik J. Rachbini, mengungkapkan kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) saat ini mengalami masalah berat yang memicu krisis ekonomi susulan.

“APBN tidak lepas proses politik APBN dan APBN yang diputuskan sekarang merupakan turunan dari proses turunan dari demokrasi siluman sehingga menghasilkan APBN yang sakit, dalam diskusi Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19, Minggu (1/8/2021).

Baca Juga: INDEF Beberkan Sebab Realisasi Anggaran di Daerah Melambat

Dalam situasi tersebut Didik menyebutkan lima faktor APBN berpotensi krisis di masa mendatang. Pertama, proses demokrasi politik dalam APBN melahirkan kebijakan yang tidak cermat melihat situasi.

Di tahun 2019 lalu misalnya, pemerintah mengajukan hutang sebanyak nyaris menyentuh angka Rp 800 triliun. Meski DPR RI sempat merencanakan anggaran Rp 620 triliun, di tengah perjalanan nilainya membengkak menjadi Rp 1.222 triliun. Padahal susungguhnya efisiensi dapat dilakukan melalui APBD yang belakangan disebabkan pandemi Covid-19, puluhan ribu kegiatan tidak bisa dilaksanakan.

“Rasio pajak ini menjadi yang paling rendah di dunia. Prestasinya rendah dalam keadaan seperti ini mestinya Sri Mulyani paham tapi tidak bisa apapa dia tidak punya kekuatan untuk mengubah siluman-siluman di sekitarnya,” ujarnya.

Kedua, defisit primer yang semakin melebar merupakan postur dasar penerimaan yang dikurangi pengeluaran defisit tanpa hutang. Ketiga, hutang menjadi warisan sangat berat di tengah pendapatan pajak yang turun drastis. Sejak jaman Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati rasio pembayaran hutang terhadap pendapatan cenderung mengalami penurunan. Namun di jaman Presiden Joko Widodo pada 2014 hingga sekarang, grafik rasio pembayaran hutang semakin menaik melampaui pendahulunya.

“Wajar kalau kemudian disebut sebagai rezim pencetak hutang,” jelasnya.

Keempat, terjadi pengendapan dan kebocoran di daerah. Menurut Didik, APBD juga merupakan bagian masalah dari APBN yang disebabkan oleh tidak proses politik di daerah yang tidak berjalan dengan baik.

Akibatnya yang terjadi adalah pengendapan dana daerah yang berarti desentralisasi  fiskal sejak dua dekade tidak berjalan dengan baik. Dalam kondisi teresbut pihak yang diuntungkan adalah pejabat daerah yang juga merangkap sebagai komisaris di bank daerah.

Sedangkan kelima, pembiayaan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN yang sedang krisis dapat membebani APBN dalam kondisi krisis pandemi seperti saat ini. Salah satu contohnya pembiayaan terhadap BUMN Karya yang saat ini sedang sekarat akan menjadi masalah di masa mendatang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: