Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Rita Efendy: Menatap Masa Depan Saham Teknologi dan Digital

KOL Stories x Rita Efendy: Menatap Masa Depan Saham Teknologi dan Digital Kredit Foto: Instagram/Rita Efendy

Selanjutnya adalah MARI yang memiliki Noice, aplikasi podcast yang banyak orang putar selama kondisi lockdown seperti ini. Kelihatannya MARI akan develop Noice 2.0. Menurut perkiraan, mereka juga akan men-develop Noice 3.0, di mana kondisi tersebut membuat Noice untuk menghasilkan pendapatan. Selain itu, MARI juga memiliki Noice Live yang mirip dengan Clubhouse. Kemudian ada juga bank-bank digital seperti BBYB akan menjadi katalis. Harganya masih rendah, sekitar 1.800, sedangkan riset dari analis menargetkan harganya akan sampai 3.000 hingga 4.000.

Baca Juga: KOL Stories x Bekti Sutikna: Niat Jadi Trader, Sudah Tahu Aturan Mainnya Belum?

Kebanyakan perusahaan teknologi dan digital masih mengalami kerugian, tetapi harga saham tinggi. Apakah memang ke depannya akan terjadi pergeseran dalam melihat suatu saham, dengan tidak lagi berkaca pada fundamental saja?

Saham teknologi tidak bisa dilihat secara fundamental seperti ekonomi. Kita ambil contoh Dana. Dulu kita tertarik memakai Dana karena memberikan banyak promo. Tentu saja perusahaan akan membakar uang untuk attract more consumer. Setelah terbiasa menggunakan aplikasi tersebut walau promonya sudah berkurang, kita akan tetap nyaman. Ketika mereka sudah stop burning money, kondisinya akan berubah dan valuasinya akan meningkat tinggi. Itu dikompensasikan dari pertumbuhan kinerja bisnisnya.

Lalu, bagaimana cara menghitung harga saham perusahaan teknologi dan digital yang tepat menurut Anda?

Setiap company menggunakan hitungan yang berbeda-beda. Ada company yang menggunakan gross merchandise value (GMV) atau gross transaction value, atau dengan total processing value seperti yang dipakai Bukalapak. Contohnya, GMV e-commerce di Indonesia tahun 2020 US$40 miliar atau setara Rp573 triliun.

Shopee pada saat itu membukukan sekitar RP14,2 miliar dengan pangsa pasar 37 persen. Di posisi kedua ada Tokopedia dengan pangsa pasar 35 persen dengan GMV RP15 miliar. Karena Bukalapak menggunakan total processing value dengan perhitungan yang berbeda, karena sifatnya Bussiness-to-Bussiness (B2B), TPV Bukalapak mencapai Rp85 triliun di tahun 2020, sedangkan price value-nya sekitar Rp64,4 triliun. Berarti rasionya 0,7 kali. Jadi Bukalapak terbilang tidak mahal, masih wajar.

Pergerakan saham perusahaan yang katanya akan menjadi perusahaan teknologi dan digital mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Apakah memang saham-saham perusahaan tersebut lebih cocok untuk para scalper atau investior jangka panjang juga tetap bisa menjadikannya pilihan?

Memang kalau kita lihat memang sedang hype dan ramai dipenuhi oleh scalper. Company semacam ini untuk investasi dan scalper masih cocok. Namun, kita harus lihat jika ingin invest harus yang liquid. Kalau tidak liquid, scalpernya tidak bisa keluar. Seperti MLPT tadi itu bagus, mungkin untuk jangka panjang cocok. AGRO dan ARTO walau harga keduanya sudah naik, mereka punya kesempatan untuk masuk ke indeks internasional. Jadi saham-saham seperti ini harus kita lihat story-nya apa karena perkembangannya masih panjang sekali.

Sebagai penutup, adakah yang ingin disampaikan kepada teman-teman semua?

Pesan saya hanya satu, jangan FOMO. Jadi sebagai investor, kita harus tenang tidak boleh ikut-ikutan orang. Kalau ada waktu, setiap weekend komunitas kita buka edukasi saham. Perbanyak belajar agar bisa lebih hati-hati memilih saham.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: