Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketum PAN: Jokowi Lelah Disorot Soal Amendemen UUD 1945

Ketum PAN: Jokowi Lelah Disorot Soal Amendemen UUD 1945 Kredit Foto: Antara/Biro Pers dan Media Setpres
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wakil Ketua Umum MPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, mengungkapkan isi pembahasan MPR bersama Presiden Joko Widodo yang digelar beberapa hari sebelum sidang tahunan MPR pada 16 Agustus lalu.

Ia menyampaikan, Jokowi lelah terus-terusan disorot mengenai amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terutama terkait isu penambahan masa jabatan presiden.

Baca Juga: Wacana Jokowi Tiga Periode, Pengamat: Presiden dan Rakyat Menolak, Legislator Ngotot?

"Saya bolak-balik menjelaskan tidak setuju dan itu kewenangan partai-partai dan MPR dan parlemen sana bukan di eksekutif. Kenapa harus saya terus yang disorot?" ujar Zulkifli menirukan pernyataan Jokowi dalam sebuah diskusi disiarkan Televisi Muhammadiyah, dilansir Republika, Senin (6/9).

Bahkan, Zulkifli mengatakan, Jokowi menyampaikan bahwa isu masa jabat presiden menjadi tiga periode tak pernah diungkapkan oleh pihak eksekutif. "Respons Pak Presiden waktu itu, 'Saya bolak-balik sudah menjelaskan kalau apa-apa langsung presiden yang dituduh'," ujar Zulhas, sapaan Zulkifli Hasan.

Menurut Zulhas, amendemen UUD tak akan terjadi, bahkan dalam jangka waktu lima sampai 10 tahun. "Amendemen ini kan sudah dua tahun, tinggal tiga tahun lagi MPR itu, menurut saya sulit untuk terjadi kalau dikatakan tidak mungkin. Jadi sulit sekali," ujar Ketua Umum PAN itu.

Selain itu, proses amendemen membutuhkan waktu lama karena perlu menyerap aspirasi semua pihak. "Semua orang isi kepalanya beda-beda. Untuk menyatukan itu saja, saya kira lima sampai 10 tahun belum selesai," ujar Zulkifli.

Saat ia menjabat sebagai ketua MPR periode 2014-2019, Zulkifli mengatakan, ada wacana amendemen UUD 1945. Saat itu, seluruh fraksi diklaim sudah menyepakati pelaksanaan untuk mengakomodasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Namun, hal tersebut urung terlaksana karena MPR memikirkan Pemilu 2019. "Zaman saya sudah memungkinkan untuk amendemen, tapi tidak terjadi, apalagi sekarang," lanjutnya.

Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin mengatakan, Indonesia hingga saat ini masih mencari sistem dan pendekatan demokrasi yang relevan. "Kami ingin mengatakan bahwa penambahan PPHN ataupun klausul lainnya secara parsial tentu akan mengakibatkan kerancuan konstitusi. Kita tak mungkin menugaskan presiden untuk melaksanakan tugasnya sesuai PPHN," ujar Sultan lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (4/9).

Menurut dia, Indonesia memang harus memiliki pedoman pembangunan bangsa. Namun, hal itu tidak lantas menyebabkan keseimbangan politik demokrasi perwakilan yang seimbang dengan eksekutif.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: