Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Komisi XI DPR: RUU KUP Gagal Melihat Ekonomi Negara secara Holistik

Komisi XI DPR: RUU KUP Gagal Melihat Ekonomi Negara secara Holistik Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menilai Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) gagal melihat perekonomian negara secara holistik. Menurutnya, RUU KUP tidak mencerminkan sinergi kolaborasi antara para stakeholders.

"Karena kalau ada rencana menaikkan PPN, risikonya kenaikan PPN ini akan memberikan dampak pada konsumsi dan menyebabkan [ekonomi] mengalami konstraksi di pertumbuhan," kata Misbakhun dalam webinar tentang RUU KUP yang diselenggarakan Tax Centre UI, Jumat (10/9/2021).

Baca Juga: Temui DPR RI, Pedagang Pasar Tolak Sembako Dipajaki

Ia mengatakan, rumusan RUU KUP masih menunjukkan egosektoral antarlembaga. Pasalnya, ia tak melihat adanya sinergi antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan para pelaku jasa keuangan, perbankan, dan asuransi dalam perumusan RUU tersebut. Padahal, ketiga sektor tersebut yang menjadi sasaran dari rencana penerapan PPN.

"Pertanyaannya, apakah ketika merumuskan jadi RUU mereka sudah dimintai pandangan, didengarkan penjelasannya, dan dimintai persetujuan paper work-nya? Nah, di sini saya belum melihat sinergitasnya. Saya lihat ini adalah sebagai bagian dari egosektoral, seakan-akan kepentingan Kemenkeu itu mereka yang mengatur semuanya," ungkap Misbakhun.

Selain itu, ia menganggap RUU KUP justru menegaskan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia masih berorientasi pada pola pikir fiskal. Hal tersebut ia lihat dari fenomena crowding out yang terus melemahkan kredit perbankan.

Padahal, pertumbuhan kredit tidak akan tercapai apabila keadaan ekonomi masih membutuhkan relaksasi dan konsolidasi akibat krisis, dalam hal ini krisis disebabkan oleh pandemi Covid-19. Akan tetapi, Misbakhun merasa sumber daya keuangan saat ini diambil oleh kepentingan fiskal.

"Kalau bicara soal kewenangan dan tanggung jawab, ya semuanya ada di Kementerian Keuangan. Namun, kalau uang yang beredar di masyarakat dan sektor bisnis digeser ke pemerinta semua, akan terjadi ketidakseimbangan uang yang beredar, konsumsi berkurang, uang hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan fiskal," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan, "Saya melihat perumusan RUU KUP itu bentuk kurangnya kesadaran kita terhadap aspek ketahanan nasional, baik dari ancaman eksternal global maupun internal domestik."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: