Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Mulai Beralih Tenaga Surya, tapi Panel Surya Mahal, Apa Penyebabnya?

Indonesia Mulai Beralih Tenaga Surya, tapi Panel Surya Mahal, Apa Penyebabnya? Kredit Foto: SUNterra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beberapa minggu terakhir sempat diramaikan tentang revisi peraturan penggunaan PLTS Atap di Indonesia. Namun, sudah siapkah industri dalam negeri menyiapkan ketersediaan komponen PLTS Atap, khususnya panel surya?

Koordinator Riset Institute for Essential Service Reform (IESR) Pamela Simamora mempunyai penilaian, harga panel surya yang tersedia di Indonesia tergolong mahal sehingga hal tersebut dimungkinkan menjadi kendala dalam implementasinya.

Baca Juga: Soal Penggunaan PLTS Atap, Profesional dan Pengamat Surati Presiden Jokowi, Kerugian Semakin Besar

"Instalasi tenaga surya di Indonesia masih mahal, walau harga proyeknya cukup kompetitif dibandingkan energi fosil," ujarnya pada Sesi II tentang Lanskap Transisi Energi Global dalam Transisi Energi Pelatihan Virtual Jurnalis 2021, Kamis (9/9/2021).

Mahalnya harga penel surya di Indonesia, kata Pamela, disebabkan oleh masih minimnya produksi panel surya di Indonesia. Kalaupun ada, panel surya yang diproduksi perusahaan BUMN manufaktur, harganya masih tergolong mahal dibandingkan harga panel surya impor. Selain juga dipengaruhi masih minimnya bahan baku yang dimiliki.

Karena itu, faktor manufacturing economy softskill dinilai penting. Hal tersebut diimplementasikan langsung oleh China dengan kondisi makin besar pabrik maka makin besar produksinya sehingga biaya produksinya menjadi lebih murah.

"Karena proyek ini masih jarang sekali ya. Kalau makin banyak digunakan, makin murah bayarnya. Seperti handphone dulu yang awal-awal mahal, tapi lambat laun murah. Teknologinya murah karena diproduksi massal. Karena teknologi makin murah," katanya.

Dengan faktor harga modul yang lebih mahal, selain berdasarkan aspek kualitas, juga belum terjamin, menyebabkan lembaga pembiayaan seperti bank merasa ragu untuk memberikan pinjaman proyek PLTS. Karenanya, isu yang muncul kemudian adalah keterwakilan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Pamela memberikan contoh proyek PLTS di Brazil yang juga menggunakan TKDN, meski pemerintah setempat tidak memberikan peraturan tegas keharusan TKDN sebesar 40 persen. Dalam implementasinya, Pemerintahan Brazil memberikan insentif kepada perusahaan yang bisa mengikuti peraturan TKDN dengan memberikan bunga 0,9 persen.

"Indonesia apakah berani? Ini yang harus kita bicarakan. Saya belum melihat banyak pembicaraan itu," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: