Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Pasang Target Penerimaan Pajak, INDEF: Lebih Sering Melesetnya

Pemerintah Pasang Target Penerimaan Pajak, INDEF: Lebih Sering Melesetnya Kredit Foto: SystemEver
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan penentuan pendapatan negara terdapat beberapa faktor pertama dari asumsi makro ekonomi yang sudah diputuskan seperti pertumbahan ekonomi, inflasi, nilai tukar, hingga sumber pendapatan negara baik melalui bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pemerintah telah menetapkan pertumbuhan ekonomi pada 2022 dalam angka yang cukup tinggi yakni sebesar 5-5,5 persen, inflasi 3 persen, nilai tukar 14.350, suku bunga 6,82 persen.

Baca Juga: Indef Nilai Pandemi Picu Ruralisasi, Pertanian Jadi Bantalan saat Resesi

“Kalau saya melihat apa yang disampaikan pemerintah asumsi bisa saja tidak realistis misalhnya pertumbuhan ekonomi 5,5 persen  itu sering kali meleset dari yang ditargetkan. Kedua lifting minyak mentah yang ditargetkan 703 kita tahun kinerja pemerintah di bawah 700 termasuk nilai tukar misal tapering off berlaku, kemungkinan rupiah akan melemah,” ujarnya dalam INDEF Talk bertema Potensi Penerimaa Negara di Tengah Pandemi, Minggu (26/9/202).

Tauhid menegaskan perubahan asumsi yang dilakukan pemerintah akan mempengaruhi pendapatan negara. Sebab, untuk PPh migas sangat tergantung lifting minyak dan nilai tukar rupiah. Bila dalam prosesnya terdapat pergerakan yakni pertumbuhan ekonomi dan lifting minyak, Tauhid menyebut target pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara Rp 1840,7 akan sangat sulit direalisasikan tahun 2022.

Meski capaian tersebut diinginkan, namun dalam kondisi saat ini dinilainya ebrat mengingat target defisit pada 2023 setidaknya sudah mencapai 3 persen dengan melakukan pendapatan negara sesuai dalam batas yang wajar.

“Defisit tahun 2022 katakanlah 4 persen bisa tercapat tapi usaha nya harus besar ada kemungkinan defisit bisa semakin melebar,” katanya.

Meski begitu, lanjut Tauhid, hal tersebut juga memiliki resiko susulan. Seperti tapering off yang akan dilakukan pada 2022 oleh pemerintah Amerika Serikat untuk memperkuat struktur fiskal dalam negeri. Hal ini akan memiliki dampak seperti kenaikan suku bunga dan USD yang mengalami perpindahan ke Amerika Serikat (capital of low).

Dalam situasi tersebut, maka nilai tukar rupiah akan melemah. Sebab, akan banyak orang yang akan menjual dolarnya yang ada di dalam negeri. Akibatnya rupiah akan lebih terdistorsi dengan catatan BI tidak menaikan suku bunga resikonya agar nilai tukar melemah.

Risiko susulanya lainnya, pada saat yang sama proyek infrastruktur yang didanai oleh pemerintah dari PMN sedang berlangsung dengan masif. Bahkan agenda keuangan infrastruktur 2021-2022 meningkat tajam itu.

“Pada saat itu ada kapital struktur pemodalan yang dkuatakan dan akan menggerus tingkat keuntungan dari BUMN. Resikonya laba yang disumbangkan akan semakin mengecil maka secara otomatis pendapatan negara yang ditargetkan di tahun 2022 semakin menurun ini semakin penting apalagi pada saat ini kita tidak mendapatkan surplus dari BI,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: