Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Surat Mantan OPM untuk Natalius Pigai: Anda Bukan Pemimpin Kami, Anda Lama Melupakan Tanah Papua

Surat Mantan OPM untuk Natalius Pigai: Anda Bukan Pemimpin Kami, Anda Lama Melupakan Tanah Papua Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

SURAT DARI TANAH PAPUA UNTUK NATALIUS PIGAI

Sahabat Natalius Pigai rupanya anda berteriak seperti katak dari bawah tempurung tapi gemanya didengar di Nusantara besar ini. Sedikit miris, anda  teriak di Jakarta ibu kota Negara kita sementara Presiden Jokowi sedang berdiri di pinggir jalan, di pasar mama Papua membeli noken Papua dan bercakap bersahaja dengan mama-mama Papua, di kota Jayapura menggantikan dirimu sebagai anak asli Papua

Baca Juga: Suratnya Pedas, Mantan Anggota OPM Kritik Natalius Pigai: Ko Tra Malu Sedikit pun

Ko tra malu sedikit pun.

Anda berbicara tentang pembunuhan, perampokan, penindasan orang Papua dari Jakarta, sementara Bapak Presiden sedang menendang bola, berdansa, memukul tifa, dan berdiri diatas Tanah Papua diantara orang Papua yang mencintainya bahkan mengungkapkan isi hatinya kepada masyarakat Papua pada momentum penting Upacara Pembukaan PON XX PAPUA dengan ramah dan lembut mempergunakan kata-kata salam hangat dengan bahasa daerah kami suku Sentani, HUWE FOI, ONOMI, REI MAI.....dan menutup pidatonya dengan ungkapan salam semangat dengan cara masyarakat pedalaman WA, WA, Wa.

Luar biasa perasaan bersatunya  batin antara masyarakat Papua dan Presiden Jokowi. Di daerah- daerah yang dikunjungi Presiden, rakyat menyambut beliau dengan rasa riang gembira, mengajak beliau dan Ibu Negara Iriana, berdansa, bergoyang dalam irama dan lagu tentang kehangatan batin kedamaian yang saling melekat dan bahkan ada yang mencucurkan air mata kegembiraan mereka, Pak Jokowi orang Papua, Pak Jokowi Presiden kami.

 Inilah wajah Presiden Jokowi di hati dan di mata orang Papua.

Semua hal diatas terjadi didepan mata, disiarkan langsung, diwartakan langsung ke seluruh Indonesia. Rupanya  ruang hati anda kosong, sahabat Natalius Pigai, sementara ruang hati Bapak Presiden penuh sesak dengan muatan  nasib 270 juta orang Indonesia ditambah 1 yaitu anda, Natalius Pigai. Bapak Presiden sudah mengunjungi Papua berulang kali dari pesisir sampai ke gunung- gunung berusaha menyejahterakan rakyat Papua dengan semangat dan jiwa kebapakan sementara anda diam di zona aman dan empuk di ibu kota Jakarta dan mencari cari alasan dan rumus jitu menebarkan rasa benci dan mengadu domba kami.

Dulu kami lihat anda orang terdidik dan bermoral di jabatan Komisioner Komnas HAM tapi sekarang anda kehilangan rasa hormat dan kepercayaan kami, anda sedang berada di pinggir jalan membanggakan dirimu hebat, mengklaim dirimu sebagai pemimpin Papua tetapi tanpa anda sadari anda sudah berubah dan memiliki moral  yang rusak, penuh iri hati dan sifat kecemburuan  karena impian-impianmu di masa lalu kini menjadi hantu yang mengganggu jiwamu. Otak cerdasmu kini menggoreng kepetinganmu dengan mengatasnamakan rakyat Papua. Kedua kakimu menginjak bumi di pulau Jawa tanpa sadar anda mengumumkan dirimu, "aku disini mencoreng wajahku sendiri karena disana rakyat Papua menggantung noken adat di leher pak Jokowi dan memproklamirkan Jokowi orang Papua".

Natalius Pigai, ingat bahwa anda bukan siapa-siapa, anda bukan pemimpin kami. Gubernur Lukas Enembe dan Gubernur Barnabas Mandacan adalah pemimpin kami karena kami yang memilih mereka, para Bupati, para Anggota DPR, para Ondowafi/Ondofolo, Kepala Suku, adalah pemimpin-pemimpin kami di Tanah Papua. Mereka semua mendukung kebijakan pembangunan di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi.

Anda bukan Pemimpin kami. Supaya anda paham bahwa gorengan rasisme membenturkan Bapak Presiden dengan kami rakyat Papua, atau pak Ganjar Pranowo yang innocent atau masyarakat Jawa Tengah untuk suatu maksud tertentu. Kami di Papua ingin tahu apakah itu hasil otakmu atau ungkapan murni dari hatimu, atau bisikan sponsor yang memperalat anda sebagai corong dalam rangka menimbulkan krisis baru dengan corak konspirasi benturan etnis di Tanah Papua. 

Kami di Papua sudah mengalami perubahan-perubahan penting yang anda tidak tahu. Istilah- istilah yang  berkonotasi rasisme atau human rights sudah  menjadi konsumsi masyarakat dan kami sudah puas dan  kenyang dan bahkan sudah usang. 

Anda lama melupakan Tanah Papua karena anda mengejar panggung popularitas pribadi tanpa menghiraukan keselamatan rakyat Papua, seraya mengantar rakyatmu sendiri ke dalam konflik rasisme baru. Supaya anda tahu bahwa kami, rakyat Papua, kini memiliki semangat nasionalisme baru menjadikan rumah Papua Indonesia mini yang damai dan harmonis dalam sabuk kuat Indonesia.

Supaya anda tahu, bahwa kritik usang tentang rasisme mendorong kami untuk memiliki cita-cita baru yang lebih bermakna dan bermartabat yaitu kami hendak merebut Indonesia di masa depan. Hak-hak kewarganegaraan kami telah memberi jaminan masa depan bersama 270 juta rakyat Indonesia. Jika anda merasa tidak ada tempat dalam ikatan satu hati dan satu jiwa yang terikat dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, sebaiknya anda stop berkicau non sense karena burung-burung di Tanah Papua setiap saat berkicau menyatakan kemuliaan dan kemurahan Tuhan yang sedang dinikmati rakyat Papua. 

Akhir kata jikalau anda ingin berkicau lagi, berkicaulah diatas tanah kelahiranmu, berdirilah dengan dua kakimu menginjak tanah Papua dan matamu menyaksikan keadaan rakyat Papua supaya kicauan itu ada maknanya dan derunya bisa menggetarkan hati bangsa Indonesia.

Nasihat kami dari Tanah Papua, jika anda merantau, tempatkanlah dirimu secara wajar dan jadilah teladan yang baik kepada generasi baru Papua, setidaknya anda tahu diri.

Jangan membela kebenaran dengan menginjak keadilan atau sebaliknya jangan mencari keadilan dengan menginjak kebenaran supaya anda tidak menerima upah karena anda sengaja bodoh.

Salam hangat dari Papua selalu untukmu di rantauan.

- John Al. Norotouw

Satu diantara orang Papua

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: