Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peneliti CIPS: Pertumbuhan Transaksi Digital Harus Dibarengi Literasi

Peneliti CIPS: Pertumbuhan Transaksi Digital Harus Dibarengi Literasi Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu mengungkapkan, peningkatan transaksi keuangan digital yang makin dipercepat dengan adanya pandemi Covid-19, harus dibarengi dengan kemampuan literasi keuangan yang memadai agar dapat bermanfaat bagi konsumennya.

"Peningkatan ini tentunya menjadi angin segar bagi investor karena hal ini berpotensi menarik minat mereka untuk menanamkan modalnya dalam bentuk investasi dana pada perusahaan di Indonesia maupun dalam bentuk perusahaan berbasis teknologi dan komunikasi itu sendiri. Namun, konsumen perlu dilengkapi dengan literasi supaya transaksi ini bermanfaat untuk mereka," terang Thomas lewat pers rilis, Selasa (12/10).

Baca Juga: Lintasarta Ikut Realisasikan Percepatan Transformasi Digital di Papua dan Papua Barat

Ia juga mengatakan bahwa tanpa literasi keuangan yang memadai tersebut, konsumen akan dapat terjerat pinjaman fintech lending dan juga mungkin dapat mengalami kebocoran data pribadi.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 menunjukkan, tingkat literasi finansial di Indonesia baru mencapai 38% yang menunjukkan konsumen masih belum memiliki pemahaman dan keterampilan memadai dalam mengelola keuanganan. Angka ini kontras jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan nasional yang telah mencapai 76% yang mengindikasikan banyaknya masyarakat yang sudah mengakses layanan keuangan digital di Indonesia seperti untuk perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan mikro.

Thomas juga menuturkan bahwa potensi transaksi keuangan digital di Indonesia menjanjikan dan akan terus meningkat. Berdasarkan data Google, Temasek & Bain 2020, akumulasi nilai pembelian melalui platform digital di Indonesia akan mencapai 124 miliar dolar pada tahun 2025.

Thomas menyebutkan, investasi asing yang masuk ke Indonesia sebaiknya tidak dilihat sebagai hal negatif yang dapat mengancam perekonomian domestik. Investasi asing juga memiliki dampak positif karena tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro, tetapi juga dapat membuka lapangan kerja dan secara tidak secara langsung mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Lapangan kerja baru juga akan meningkatkan daya beli masyarakat, menambah capital lending yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perusahaan dalam negeri.

"Upaya perlindungan konsumen juga perlu terus diperkuat untuk mendukung tumbuhnya ekonomi digital. Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU ini belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya," ujarnya.

Menurut Thomas, kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen membutuhkan payung hukum terkait perlindungan konsumen untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi. Payung hukum tersebut juga merupakan instrumen penting yang harus disiapkan pemerintah sebelum menerapkan pajak digital.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: