Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harmonisasi Regulasi Perpajakan Dukung Implementasi Pajak Digital

Harmonisasi Regulasi Perpajakan Dukung Implementasi Pajak Digital Kredit Foto: SystemEver
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah telah melakukan harmonisasi regulasi perpajakan yang menunjang implementasi pajak digital. Dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021 lalu, sepuluh aturan perundang-undangan berkaitan dengan perpajakan telah diubah.

"CIPS mengapresiasi adanya penambahan Pasal 32A yang memberikan landasan hukum bagi Kementerian Keuangan untuk menunjuk Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak atas produk/layanan digital," terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (23/11/2021).

Baca Juga: Ikatan Kuasa Hukum Wajib Pajak Indonesia Sudah Disahkan Kemenkumham

Hal ini sejalan dengan rekomendasi CIPS mengenai pajak digital yang disampaikan melalui publikasi yang dikeluarkan pada pertengahan tahun 2021 lalu. Sebelum disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 ini, Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) maupun PSE tidak tergolong sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Akan tetapi, dengan dikeluarkannya aturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi PMSE di level peraturan menteri pada tahun 2020, terdapat urgensi untuk mengamandemen UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sudah beberapa kali diubah melalui UU Nomor 9 Tahun 1994, UU Nomor 16 Tahun 2000, UU Nomor 28 Tahun 2007, dan UU Nomor 16 Tahun 2009 karena tidak melihat badan usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk pemungutan pajak di Indonesia.

Sejak diberlakukan pada 1 Agustus 2020 lalu, barang dan jasa yang dijual perusahaan internasional berbasis digital wajib membayar PPN sebesar 10%. Pengenaan PPN ini dibebankan kepada konsumen yang berlangganan layanan dari perusahaan tersebut.

Berikutnya, Pingkan menyatakan perlu adanya pembagian wewenang antarinstitusi yang jelas terkait implementasi pajak digital. Kebijakan perpajakan Indonesia umumnya tetap menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak konvensional yang sulit untuk diterapkan dalam ranah ekonomi digital.

UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang menyatakan, penalti untuk pemungut PPN yang tidak patuh ialah pemutusan akses operasional oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Namun, tidak ada ketentuan lebih lanjut tentang implementasi aturan tersebut oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Terakhir, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dan efektif. Hal ini tentu membutuhkan dialog antara pemerintah dan swasta atau Public-Private Dialogue (PPD) dengan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan secara luas.

Proses ini juga akan membantu membangun kepercayaan dan menjembatani jarak antara Kemenkeu dan pelaku usaha. Selain itu, cara ini juga akan membantu Kemenkeu beradaptasi dengan model bisnis digital yang kerap kali berubah sesuai dengan perkembangan sektor digital.

Dalam masa transisi menuju tahun 2023, pengaturan di level negara menjadi sangat penting untuk memperjelas mekanisme penarikan pajak dan juga upaya penyelesaian sengketa yang mungkin timbul ketika nanti ketentuan ini telah sepenuhnya diterapkan di tahun 2023.

Selanjutnya, kewajiban PPN untuk produk digital juga membutuhkan sistem yang berfungsi dengan baik untuk memungut, melaporkan, dan membayar PPN. Kalau tidak, mengutip dari ringkasan kebijakan CIPS mengenai Pajak Digital di Indonesia, Pingkan menyebut, Indonesia bisa mengalami apa yang telah terjadi di Uni Eropa, yaitu kesulitan muncul akibat rendahnya kepatuhan dan kurangnya penegakkan dari pelaksanaan di lapangan.

Sementara itu, PMK Nomor 48 Tahun 2020 tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus ketidakpatuhan yang juga diperlukan untuk mengantisipasi permasalahan ketidakpatuhan pajak.

"Potensi pajak digital untuk pendapatan negara sebenarnya cukup besar. Apalagi sekarang ini makin banyak bisnis berbasis offline bergeser menggunakan platform online. Walaupun demikian, kita juga patut memperhatikan kesiapan kerangka regulasi dan teknis implementasinya seperti apa," tegasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: