Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Terkuak Strategi Bengis Junta Myanmar: Membabi Buta, Polanya Sistematis dan Masif

Terkuak Strategi Bengis Junta Myanmar: Membabi Buta, Polanya Sistematis dan Masif Kredit Foto: Reuters/Stringer
Warta Ekonomi, Yangon -

Militer Myanmar kembali menerapkan strategi pembantaian terhadap warga sipil dan penduduk desa. Pada 7 Desember sekitar pukul 11.00 waktu setempat, militer Myanmar telah menyerbu dan menyerang Done Taw.

Seorang remaja berusia 19 tahun yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan sekitar 50 tentara memburu orang dengan berjalan kaki.  Petani dan penduduk desa lainnya melarikan diri ke hutan dan ladang. Namun 10 orang berhasil ditangkap dan dibunuh, termasuk lima remaja, salah satunya masih berusia 14 tahun.

Sebuah foto menunjukkan sebuah jasad gosong dengan posisi telungkup dan mengangkat kepalanya. Ini menunjukkan jasad tersebut telah dibakar hidup-hidup. "Saya sangat kecewa, ini tidak dapat diterima,” kata remaja berusia 19 tahun itu.

Militer bergerak masuk ke Done Taw setelah konvoi menabrak bom pinggir jalan di dekatnya. Seorang penduduk desa mengatakan orang-orang yang terbunuh bukan bagian dari kelompok perlawanan. "Mereka hanya pekerja biasa di perkebunan daun sirih. Mereka bersembunyi karena mereka takut," kata seorang tukang las berusia 48 tahun yang tidak mau menyebutkan namanya.

Pembantaian di Done Taw merupakan salah satu tanda terbaru bahwa militer Myanmar kembali menerapkan strategi pembantaian sebagai senjata perang. Menurut penyelidikan Associated Press berdasarkan wawancara dengan 40 saksi, media sosial, citra satelit, dan data korban meninggal, pembantaian dan taktik bumi hangus seperti menghancurkan seluruh desa merupakan eskalasi terbaru dalam kekerasan militer terhadap warga sipil dan oposisi. Sejak militer merebut kekuasaan pada Februari, mereka telah bertindak secara brutal, menculik pria dan anak muda, termasuk membunuh petugas kesehatan, dan menyiksa tahanan.

Pembantaian dan pembakaran juga menandakan kembalinya praktik yang telah lama digunakan militer terhadap etnis minoritas seperti Muslim Rohingya pada 2017 silam. Militer menghadapi tuduhan pembunuhan terhadap setidaknya 35 warga sipil pada Malam Natal di desa Mo So. Seorang saksi mengatakan kepada AP bahwa banyak mayat pria, wanita, dan anak-anak yang hangus terbakar sehingga tidak bisa dikenali. Militer juga melakukan pembantaian terhadap penduduk dan desa yang mayoritas beragama Buddha Bamar.  

Menurut data dari Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik atau AAPP, lebih dari 80 orang tewas dalam pembunuhan di wilayah Sagaing sejak Agustus. Jumlah tersebut termasuk kematian orang-orang di Done Taw, lima orang di desa Gaung Kwal pada 12 Desember, dan sembilan orang di kotapraja Kalay pada 23 Desember.

Militer juga mengulangi taktik yang menjadi ciri khas mereka yaitu menghancurkan seluruh desa yang mendukung oposisi. Citra satelit yang diperoleh AP dari Maxar Technologies menunjukkan lebih dari 580 bangunan telah dibakar di kota barat laut Thantlang sejak September.

Militer melakukan kekerasan sebagai respons terhadap kekuatan perlawanan lokal yang bermunculan di seluruh negeri. Namun serangan militer telah menimbulkan kerugian dengan hilangnya nyawa warga sipil.

Jumlah korban pembantaian oleh militer Myanmar kemungkinan jauh lebih besar. Lokasi pembantaian cenderung terjadi di daerah terpencil dan militer menyembunyikan informasi tentang mereka dengan membatasi akses internet dan memeriksa ponsel.

“Ada kasus serupa yang terjadi di seluruh negeri pada saat ini, terutama di barat laut Myanmar. Lihat polanya, lihat bagaimana itu terjadi secara sistematis dan tersebar luas," ujar Kyaw Moe Tun, yang menolak untuk meninggalkan posisinya sebagai utusan Myanmar untuk PBB setelah militer merebut kekuasaan.

Sejauh ini, militer Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw belum memberikan tanggapan. Tiga hari setelah serangan di Done Taw, surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah menolak laporan pembunuhan itu. Mereka menyebut pembunuhan itu sebagai berita palsu dan menuduh negara-negara tak dikenal ingin menghancurkan Myanmar dengan menghasut pertumpahan darah.

“Sifat betapa beraninya serangan ini benar-benar menunjukkan skala kekerasan dalam beberapa bulan mendatang dan khususnya tahun depan,” kata seorang peneliti untuk Human Rights Watch, Manny Maung.

Pergerakan pasukan militer menunjukkan kekerasan di wilayah barat laut kemungkinan akan meningkat. Dua konvoi militer dengan lebih dari 80 truk dari Sagaing telah berhasil mencapai negara bagian Chin. Seorang mantan kapten militer, Zin Yaw, mengatakan pasukan militer di Negara Bagian Chin telah diperkuat pada bulan Oktober. Pasukan militer saat ini mulai menimbun amunisi, bahan bakar, dan ransum di Sagaing.

Zin Yaw adalah veteran militer yang membelot pada Maret. Dia sekarang melatih pasukan oposisi. Zin Yaw kerap menerima pembaruan informasi dari teman-temannya yang masih aktif di militer dan memiliki akses ke dokumen pertahanan.

"Yang paling dikhawatirkan militer adalah menyerahkan kekuasaan mereka. Di militer mereka memiliki pepatah, jika Anda mundur, hancurkan semuanya. Itu berarti bahkan jika mereka tahu mereka akan kalah, mereka menghancurkan segalanya," ujar Zin Yaw.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: