Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ade Febransyah: Belajar Berkuasa

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Muscle, money and knowledge!  Futurolog Alvin Toffler di bukunya ‘Power Shift’ (1990) mengingatkan kembali tiga bentuk kekuasaan yang terus ada di segala jaman. Di level paling primitif adalah kekuasaan yang diperoleh lewat kekuatan otot. Mengancam keselamatan orang lain menjadi senjata ampuh untuk berkuasa. Di atasnya adalah kekuasaan lewat uang. Dengan kekuatan uang,segala sesuatu dapat diatur untuk melanggengkan kekuasaan. Terakhir, kekuasaan yang bersandarkan pada ilmu pengetahuan. Di antara ketiganya, ilmu pengetahuanlah yang paling demokratis untuk digunakan menuju kekuasaan.  Dengan ilmu pengetahuan, kekuasaan diperoleh tanpa menebarkan rasa takut dan menghamburkan uang kepada mereka yang ingin dikuasai.

Dalam dunia bisnis, ambisi berkuasa dalam persaingan juga tidak terhindari. Pilihannyapun jelas. Apakah ingin berbisnis secara tidak bermartabat lewat tebaran ancaman, sogokan tapi dikemas rapi seolah  berilmu pengetahuan? Atau menawarkan ketinggian nilai lewat solusi berbasis ilmu pengetahuan atas problem nyata di masyarakat? Jika yang kedua menjadi pilihan, bersiaplah untuk memasuki dunia inovasi; dunianya para penawar solusi, pemberi makna dan akhirnya pengubah dunia.

 

Bukan untuk Semua

Ketika kerumunan baru sebatas meyakini inovasi sebagai keharusan, pelaku inovasi sudah  bergiat dalam ketidakjelasan mencari apa lagi yang berikutnya. Ketika kerumunan bermalasan mempertahankan status quonya, penginovasi justeru menikmati ketidakpastian dalam perjalanan inovasinya. Ketika kerumunan begitu pandai menilai kekurangan karya inovasi, penginovasi sudah menyiapkan roadmap inovasi  jauh kedepan.

Ya, inovasi sudah dilihat sebagai keharusan. Hampir tidak ada perusahaan dan petingginya yang tidak menyadari pentingnya inovasi. Studi empiris menunjukkan inovasi sudah menjadi prioritas utama di sebagian besar pimpinan puncak perusahaan (BCG, 2013). Meski kesadaran akan pentingnya inovasi sudah begitu tinggi, tapi pada kenyataannya hanya segelintir saja yang pantas disebut penginovasi sesungguhnya.

Silahkan lihat struktur organisasi di perusahaan kebanyakan. Kita percaya struktur hruslah mengikuti proses yang dijalankan perusahaan. Di level mana proses berinovasi terjadi? Siapa yang menjadi pemilik proses berinovasi? Jika proses tersebut berada di level fungsional, maka inovasi masih belum menjadi prioritas utama perusahaan. Inovasi masih menjadi subordinasi dari fungsi manajemen. Ketika ini yang terjadi, lupakanlah inovasi sebagai strategi untuk keberlanjutan perusahaan di masa mendatang.

Memang sering kita dengar banyak perusahaan yang meng-klaim sudah berinovasi. Tapi yang terjadi sesungguhnya adalah sebatas upaya perbaikan atas kegagalan dalam proses bisnisnya; atau sebatas kampanye kreatif untuk menutupi keunggulan produk yang seadanya.

Inovasi banyak diucapkan, tapi sudah kehilangan ‘ruh’ kemaknaannya. Kalaupun pelakunya menikmati performa keuangan yang memuaskan, hal tersebut bukan karena inovasi. Tapi lebih dikarenakan ‘nasib baik’ yang ditimbulkan dari ketidakberdayaan masyarakat pengguna, lemahnya rivalitas antara pesaing yang ada, atau tidak tersedianya produk pengganti. Penguasa di industri seperti ini menikmati status quo, zona nyaman yang tidak terusik dalam waktu lama.

Lain halnya dengan dunia inovasi. Pelakunya dihadapkan pada rivalitas sengit dengan pesaing; kompleksitas jejaring pemasok ataupun kekuatan pembeli yang tinggi. Meraih kekuasaan di dunia inovasi harus menggunakan pemikiran cerdas berdasarkan ilmu  pengetahuan dan teknologi. Untuk berhasil dalam inovasi, tidak cukup menawarkan produk yang sekedar lebih hebat dari sebelumnya. Masyarakat pengguna tidak butuh itu. Yang mereka butuhkan adalah produk yang dapat melakukan jobs to be done (JTBD) yang tidak ada di produk sebelumnya (Christensen, 2007).

 

Awalnya adalah oportunitas

Ketika melihat berbagai inisiatif inovasi, seringkali yang dijumpai adalah sudah dalam bentuk konsep produk yang superior. Silahkan saja perhatikan di pameran mobil. Parade serba canggih, serba elektronik, serba sentuh menjadi keharusan untuk menyilaukan calon pembeli. Inovasi bukanlah tentang menghadirkan sesuatu yang berbeda atau sekedar lebih baik atau lebih hebat. Inovasi harus diawali dari ketepatan oportunitas, atau JTBD yang nantinya dikembangkan menjadi konsep produk. Bagi calon pembeli mobil, bisa saja JTBD-nya berupa menghadirkan rasa damai selagi mengemudi. Tidak mudah menjawabnya, tapi itulah esensi JTBD.

Sekarang lihat apa yang terjadi di industri pendidikan. Jor-joran dalam kelengkapan fasilitas sudah menjadi keharusan; kesesuaian dengan standar internasional sudah tidak dapat ditawar lagi. Tapi apakah itu semua yang diinginkan oleh para murid dan orang tuanya. Bisa saja JTBD di dunia pendidikan adalah mengeluarkan kemampuan terbaik siswa dalam lingkungan belajar yang menyenangkan. Berdasarkan JTBD seperti ini, maka sekolahpun mencoba menghadirkan iklim sekolah yang menggerakkan siapapun untuk mengeluarkan yang terbaik dari dirinya. Tidak ada paksaan, tidak ada aturan yang harus diikuti. Siapapun di dalamnya pengejar kemajuan dengan  tetap menjaga harmoni.

Masih dalam dunia pendidikan, sekarang ini sudah mulai ramai dibicarakan konsep tentang massive open online education (MOOC). Bagi sebagian pelakunya, pendidikan di masa mendatang akan bergantung pada online education ini. Pendidikan adalah hak untuk siapapun. Oleh karenanya pendidikan harus terjangkau oleh siapapun. Bagi sebagian besar pelaku yang konvensional, MOOC adalah sebuah konsepsi yang elusif; penuh emosional dan mengada-ada. Peserta didik tetap memerlukan interaksi langsung dengan pengajar dan sesame peserta. Itulah yang tidak bisa dipenuhi oleh penyedia online education. Apa respon dari penyedia pendidikan jarak jauh ini? Tentu saja mereka tidak akan head-to-head menawarkan yang lebih hebat, lebih pintar, dan lebih-lebih lainnya dibandingkan sekolah konvensional. JTBD mereka adalah membantu peserta mengatasi problem nyata di pekerjaan secara mudah.

Sekarang ini kita berada di gelombang konseptualisasi. Penguasa bisnis masa depan bukanlah mereka yang ditakuti untuk dituruti atau suka menghamburkan uang untuk popularitas. Penguasa masa depan adalah mereka yang mampu keluar dengan konsep inovasi yang tepat. Dan konsep yang tepat bukanlah sesuatu yang rocket science. Sederhananya, itu berawal dari kejelasan tentang bantuan yang memang dibutuhkan masyarakat pengguna. Itu saja!

 

Penulis: Ade Febransyah, Ketua Center for Innovation Opportunities & Development, Prasetiya Mulya Business School

 

 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: