Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bukan Cuma Perusahaan yang Pailit, Negara Seperti Sri Lanka Pun Alami Kebangkrutan, Rakyat Putus Asa

Bukan Cuma Perusahaan yang Pailit, Negara Seperti Sri Lanka Pun Alami Kebangkrutan, Rakyat Putus Asa Kredit Foto: Reuters/Dinuka Liyanawatte
Warta Ekonomi, Colombo -

Perdana Menteri Sri Lanka mengatakan negerinya telah "runtuh" karena kehabisan uang. Kekurangan uang tunai disebabkan untuk membayar impor kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar sehingga gagal membayar utang. 

Alhasil, Sri Lanka mencari bantuan keuangan dari negara tetangga seperti India dan China, termasuk dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Baca Juga: PM Sri Lanka Akui Kebangkrutan Negara, Sebut Ekonomi Ambruk!

Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, yang menjabat pada Mei, menekankan tugas monumental yang dia hadapi dalam membalikkan ekonomi yang dia katakan sedang menuju "titik terendah."

Orang-orang Sri Lanka menghadapi nasib yang tidak dapat dibayangkan. Mereka bisa makan karena kekurangan bahan pangan dan harus mengantre berjam-jam untuk mencoba membeli bahan bakar minyak (BBM) yang langka. 

Situasi tersebut adalah kenyataan pahit bagi negara yang ekonominya tumbuh dengan cepat, kelas menengan tumbuh dan nyaman, hingga krisis terakhir semakin dalam.

Seberapa serius krisis di Sri Lanka dapat diukur salah satunya dengan kelangkaan pangan dan potensi kelaparan nasional. 

Negara yang dipimpin Wickremesinghe biasanya tidak kekurangan makanan tapi diprediksi akan menghadapi kelaparan. 

Program Pangan Dunia PBB mengatakan hampir sembilan dari 10 keluarga melewatkan makan atau berhemat untuk mengulurkan makanan mereka, sementara 3 juta menerima bantuan kemanusiaan darurat.

Dokter telah menggunakan media sosial untuk mencoba mendapatkan persediaan peralatan dan obat-obatan yang penting.

Semakin banyak orang Sri Lanka yang mencari paspor untuk pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.

Pekerja pemerintah telah diberikan hari libur ekstra selama tiga bulan untuk memberi mereka waktu untuk menanam makanan mereka sendiri. Singkatnya, orang-orang menderita dan putus asa untuk memperbaiki keadaan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: