Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

'Woman on Top' (2)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Laporan Warta Ekonomi (No. 26/Desember 2014) bertajuk Woman on Top seakan menegasi sekaligus menjawab pertanyaan Emily Bennington dalam bukunya, Who Says It’s a Man’s World (2012).Bahwa posisi puncak sebuah korporasi bukanlah dominasi pria atau dunianya pria,  melainkan juga lahannya wanita dan mengglobal lintas sektor di berbagai lini kehidupan. Di dunia bisnis, korporasi, sampai panggung politik mereka sudah eksis dan sejumlah posisi puncaknya diduduki oleh wanita-wanita hebat dari belahan bumi  di selatan khatulistiwa (mayoritas negara berkembang).

Di panggung politik, sampai awal 2010, terdapat 15 wanita menduduki posisi puncak di 188 negara dunia. Rinciannya, empat sebagai kepala negara, enam kepala pemerintahan, dan lima merangkap keduanya. Wanita juga menduduki 16,9% dari 4.100 kursi kabinet sedunia (IPU, 2010). Di Indonesia, jadi presiden sudah (awal milenium ketiga), jadi anggota parlemen dan menteri sudah biasa.

Menjadi CEO rumah tangga sudah umum, dan wanita di kawasan negara berkembang,  seperti dikatakan  Jeanne Halladay Coughlin dalam The Rise of Women Entrepreneurs (2002, 24), bahkan lebih mendominasi. Wanita menjadi kepala rumah tangga paling banyak di kawasan Karibia, dengan rasio tertinggi (36%), lebih besar dari negara maju (31%), Amerika Latin, dan Asia Tengah (sama-sama 24%). Selain menjadi CEO di rumah tangga, mereka juga jadi mesin ekonomi keluarga yang selanjutnya menjadi bagian dari mesin ekonomi negara. Itu kata Carla Freeman lewat bukunya, High Heel and High Tech in the Global  Economy (2000). Dalam hal ini,  porsi tertinggi pada wanita di Asia Selatan dan  Asia Timur (masing-masing 22%) dan terendah di Asia Tenggara (19%).

Wanita Indonesia tidak kalah hebat. Mereka pemilik dan pengelola 60% UKM di Indonesia yang usahanya sanggup menyerap 92% tenaga kerja sektor informal. Secara tradisional, pada kelompok etnis tertentu, wanita memegang peranan ekonomis yang lebih dominan.

Data dari National Foundation for Business Women Owners (NFBWO) di AS mengungkapkan bahwa perusahaan milik wanita dan wanita pengusaha tumbuh lebih cepat, lebih banyak, dengan kontribusi yang makin signifikan bagi perekonomian negara. Sampai tahun 1999, wanita di AS memiliki 9,1 juta perusahaan atau 38% dari total perusahaan. Jajaran perusahaan mereka meraih penghasilan US$3,6 triliun per tahun dan menyerap 27,5 juta karyawan, jauh melebihi karyawan di “Top 500 Fortune”. Maka tidak heran jika makin banyak wanita “super kaya” sebagaimana laporan Merryll Lynch (2010), bahwa dari 10,9 juta orang super kaya (high net worth individual/HNWI) yang punya kekayaan  US$42,7 juta, 27%-nya adalah wanita.

Di Kanada, 47% perusahaan milik wanita masih bisa bertahan setelah lima tahun berdiri dibanding 25% perusahaan milik pria. Padahal kolateral yang diminta oleh bank lebih tinggi dibanding kolateral untuk perusahaan yang dimiliki pria. Di Jerman Timur, pasca-unifikasi 1990, sepertiga dari perusahaan baru didirikan oleh wanita yang menyerap satu juta karyawan dan menyumbang US$15 miliar bagi PDB.

Di lembaga internasional seperti World Bank, posisi wanita relatif lebih baik, dengan menduduki 36% posisi penting badan internasional ini. Sementara itu, di kantor IMF hanya 11%, satu di antaranya wanita Indonesia kelahiran Lampung (Sri Mulyani Indrawati).

Dari 20 CEO wanita di artikel Warta Ekonomi tersebut di atas, mayoritas mengelola perusahaan keluarga. Namun,  hal itu jangan dipandang negatif, apalagi hanya dari kacamata kroni dan nepotisme. Meskipun itu bisnis warisan keluarga dan punya ikatan emosional dengan perusahaan sejak remaja, tidak menjamin mereka bisa sukses mengelola, membesarkan, dan mempertahankannya. Pengalaman kerja di perusahaan  luar lintas sektor, berpendidikan tinggi, serta punya visi besar mengembangkan perusahaan justru jadi modal penting.

Di perusahaan negara (BUMN), perjalanan wanita jadi CEO juga menarik dan lebih menunjukkan profesionalisme. Kaum hawa ini sudah menjadi CEO dari perusahaan berpenghasilan ratusan miliar rupiah di bidang pariwisata (Natour dan Taman  Wisata Candi Borobudur) sampai korporasi terbesar Indonesia (Pertamina) yang berpenghasilan ratusan triliun rupiah. Secara implisit, tidak relevan lagi orang berdebat tentang emansipasi wanita.

Dengan segala prestasi atau posisi yang meningkatkan harkat wanita Indonesia, di sisi lain, sebagian kecil dari kaum hawa kelas high heel, high tech, high incomeinimemang siap untuk sementara waktu jadi penghuni LP Pondok Bambu.

Penulis: Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Sumber: WE-02/XXVII/2014

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: