Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

'Brand' Lokal... Malang Nasibmu

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Inilah nasib negara yang kelamaan dijajah. Karena kelamaan dijajah, kita jadi minder. Kita merasa produk dan brand yang dibuat bangsa sendiri sebagai produk dan brand kelas teri. Sementara itu, apa-apa yang dibuat bangsa penjajah (baca: barat) sebagai produk dan brand kelas wahid. Mentalitas minder ini terpupuk beratus tahun sehingga kini sudah menjadi demikian keras mengkristal di otak kita.

Lokal vs Asing

Kebetulan saya kenal dekat dengan Bu Martha Tilaar, salah satu ikon industri kosmetik Tanah Air. Ada satu kisah dari Bu Martha yang membuat sedih. Ceritanya sekitar 15 tahun lalu, saat ia ingin produk-produknya hadir di mal-mal bergengsi di Jakarta. Ia mencoba menghubungi salah satu pengelola mal bergengsi di Jakarta untuk bisa membuka gerai. Bu Martha kaget luar biasa ketika si pengelola mal menolak mentah-mentah kehadiran produk-produk Martha Tilaar. Kata si pengelola mal, mal tersebut memprioritaskan brand-brand asing yang lebih bergengsi.

Singkat cerita, setelah melalui proses negosiasi yang alot, pakai acara marah-marah segala, akhirnya permintaan Bu Martha dikabulkan. Namun, itu dengan satu syarat: "Ibu harus di lantai 4 atau 5, karena lantai bawah hanya diperuntukkan bagi merek-merek asing," begitu kira-kira penjelasan pengelola mal.

Pemilik dan pengelola mal tersebut 100% orang Indonesia, Indonesia tulen. Namun, ya itu tadi, karena kelamaan dijajah, mereka beranggapan bahwa buatan bangsa sendiri adalah kelas teri, murahan, dan tidak bergengsi. Karena itu, menurut mereka, brand lokal tak selayaknya berbaur dengan brand-brand asing yang nomor satu, berkelas, dan memiliki prestise selangit. Sungguh menyedihkan.     

Kini, ketika dominasi brand-brand global sudah merasuki seluruh aspek kehidupan kita, maka anggapan bahwa brand lokal adalah kelas buncit, sementara brand asing adalah kelas wahid, kian mengeras. Karena kenyataan ini, tak mengherankan jika beragam bentuk kampanye cinta produk dalam negeri kini menjadi kian mandul dan tak mampu lagi menarik minat anak negeri. Walhasil, globalisasi membawa dampak menyedihkan berupa kian terpinggirnya brand lokal. Dalam urusan brand, negeri ini tak mampu lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Brain Drain

Yang menyedihkan lagi, rupanya anggapan umum bahwa lokal selalu nomor buncit, dan asing nomor wahid, tak hanya memengaruhi kesadaran kita dalam memutuskan dan memilih produk yang kita beli dan konsumsi. Anggapan tersebut juga berlaku saat kita memilih perusahaan yang akan menjadi pilihan kita untuk bekerja.   

Seiring masifnya kehadiran perusahaan-perusahaan global (multinational corporation/MNC) di Tanah Air, kini kian mengeras anggapan bahwa bekerja di perusahaan lokal itu kelas teri dan kelas gurem, sementara bekerja di perusahaan asing itu bergengsi dan berkelas wahid. Dan, kenyataannya memang begitu, bekerja di MNC tak hanya gaji lebih tinggi, fasilitas lebih memadai, sistem lebih mapan, karier lebih menjanjikan, tetapi secara sosial juga lebih bergengsi dan berprestise. Di kalangan fresh graduate kita muncul kesadaran bahwa bekerja di MNC merupakan pilihan pertama dan kedua, sementara perusahaan-perusahaan lokal menjadi pilihan terakhir setelah masuk di sekian banyak MNC ditolak. Dengan kata lain, dari sisi modal manusia (SDM), perusahaan lokal hanya mendapat "ampas", sementara "sari-sarinya" sudah diambil MNC global.

Inilah yang saya sebut bahwa kini telah terjadi brain drain secara struktural dan sistemik di dalam sistem ekonomi kita di mana orang-orang terbaik kita mengalir bukan ke perusahaan-perusahaan lokal, melainkan ke MNC-MNC global. "Gula-gula" yang ditawarkan MNC-MNC dalam bentuk gaji, fasilitas, karier, ekspertis, dan gengsi mampu secara sangat efektif mengisap potensi dan talenta terbaik dari anak negeri.    

Double Impact

Saya tidak mengkhawatirkan bahwa orang-orang terbaik kita bekerja di MNC-MNC global. Saya justru bersyukur mereka bisa bekerja di MNC karena itu berarti mereka bisa mengembangkan karier dan kompetensi berkelas dunia. Yang saya cemaskan adalah nasib merek dan perusahaan lokal kita di negerinya sendiri.

Yang saya sedihkan, brand dan perusahaan lokal kini terhimpit dari dua jurusan oleh adanya stereotipe "lokal kelas buncit" vs "asing kelas wahid". Pertama, dari sisi konsumen, tren ke arah konsumen yang kian "asing-minded" menyebabkan merek global akan mendapatkan preferensi utama dari konsumen, sementara merek lokal mendapat preferensi paling buncit. Untuk yang premium dan yang mahal-mahal menjadi jatah merek asing, sementara yang murah-meriah menjadi jatah merek lokal.

Kedua, dari sisi SDM, orang-orang terbaik kita bukannya mengalir ke perusahaan-perusahaan lokal, melainkan ke MNC global. Sekali lagi MNC global mendapatkan jatah orang-orang kelas utama, sementara perusahaan-perusahaan lokal hanya mendapatkan "ampas" berupa orang-orang kelas gurem. Oleh karena itu, saya meramalkan, masuknya MNC global yang begitu masif ke Tanah Air juga bakal diikuti dengan proses brain drain sistemik, yang pada gilirannya akan melemahkan posisi saing perusahaan lokal.   

Vicious Circle

Kalau dua himpitan itu bekerja secara bersamaan dan sistemik, maka kita akan menyaksikan sebuah kondisi yang memprihatinkan. Merek dan pemain lokal akan mengalami "pelemahan struktural" yang terjadi karena adanya "lingkaran setan" (vicious circle) yang membelitnya. Mekanisme lingkaran setan ini berlangsung sebagai berikut. Pertama-tama,  pemain lokal tak mampu menarik SDM dan talenta terbaik anak negeri. Kondisi ini berdampak buruk karena, dengan SDM berkualitas gurem, mereka hanya mampu menghasilkan produk dan layanan kelas gurem. Dengan produk dan layanan kelas gurem, maka mereka tak akan kompetitif di pasar. Kondisi ini menyebabkan kinerja keuangan merek lokal terpuruk sehingga tak mampu menarik SDM dan talenta terbaik karena mereka tak mampu menawarkan gaji, fasilitas, karier, dan gengsi.

Demikian, proses ini berlangsung terus-menerus menjadi sebuah pusaran yang menjadikan merek lokal kian terpuruk dan terus terpuruk. Apakah keterpurukan sistemik ini akan membumihanguskan brand lokal dari Bumi Pertiwi? Saya terus berdoa agar hal itu tak terjadi.

Penulis: Yuswohady, Managing Partner Inventure, www.yuswohady.com

Sumber: WE-03/XXVI/2015

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: