Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Didorong Kembangkan Energi Terbarukan

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Gagasan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia harus dikonsultasikan kepada publik dengan proses yang tertata berjenjang, terencana, dan transparan. Pemerintah disarankan tidak menggunakan strategi publik relasi semata dengan menggunakan anggaran APBN untuk memaksakan penerimaan PLTN oleh masyarakat.

Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan yang faktual, akurat, dan berimbang tentang risiko-risiko teknologi PLTN, kesempatan untuk menyatakan pendapat dan pandangan terkait dengan penerimaan PLTN, dan dialog yang berbasis pada kaidah keilmuan (scientific) sebelum pemerintah memutuskan go or not go nuclear.

Demikian pesan yang muncul dalam seminar nasional mengungkap ketertutupan rencana pembangunan PLTN di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pasca-Sarjana Universitas Kristen Indonesia dan Pusat Kajian dan Studi Kebijakan dalam penggunaan energi terbarukan UKI di Jakarta, Kamis (13/8/2015).

Guru Besar Teknik Energi UKI Atmonobudi Soebagio mengkritik praktik-praktik Kementrian ESDM dan Batan yang mengedepankan cara-cara public relation, yaitu menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan bahwa pemerintah siap membangun PLTN dan masyarakat telah setuju. Padahal, selama ini tidak ada proses yang terbuka dan transparan dalam menjaring pendapat dan pandangan publik, tetapi pemerintah seakan-akan sudah membuat keputusan membangun teknologi yang berisiko besar ini.

Sementara itu, pengajar di Program Pasca-Sarjana UKI dan juga mantan Sekretaris Komisi Persiapan Pembangunan PLTN era 1980-an Nengah Sudja mengungkapkan bahwa sejak dulu PLTN itu tidak kompetitif karena berbiaya sangat mahal. Berbagai kajian menunjukkan biaya pembangunan PLTU Batubara yang paling efisien. Walaupun biaya bahan bakar PLTN murah dibandingkan dengan bahan bakar konvensional, tetapi total biaya pembangkitan tenaga listriknya mahal dan bisa mencapai US$0,12-0,15 per kWh.

Sudja menambahkan tidak heran banyak negara maju yang menguasai teknologi PLTN memiliki standar keamanan sangat tinggi justru memutuskan untuk meninggalkan teknologi PLTN dan mengembangkan energi terbarukan untuk pemenuhan energi jangka panjang. Tingginya biaya produksi listrik PLTN, tingkat risiko yang tinggi, serta semakin kompetitifnya biaya investasi teknologi energi terbarukan menjadi pendorong keputusan Jerman, Swiss, hingga Perancis meninggalkan PLTN.

Sedangkan, ahli fisika nuklir lulusan Jepang Iwan Kurniawan juga mengkritik rencana Batan mengembangkan PLTN mini atau yang disamarkan Ristek dengan nama Reaktor Daya Eksperimen (RDE) berbasis pada teknologi HTGR. Menurut Iwan, Batan tidak menguasai teknologi HTR/HTGR dan tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam rancang bangun teknologi HTR/HTGR.

Kemudian, Atmonobudi mendesak agar Presiden Jokowi memberikan arahan yang tegas kepada Menteri ESDM dan Menristek untuk tidak meneruskan rencana pembangunan PLTN dan pembangunan RDE sampai ada keputusan politis yang dibuat oleh presiden. Disarankan, Kementerian ESDM dan Kemenristek/BPPT bekerja keras dalam empat tahun mendatang, mewujudkan tujuan Nawa Cita yaitu kemandirian energi dengan mendorong pemanfatan energi terbarukan.

Penelitian dan alih teknologi energi terbarukan generasi terbaru sehingga Indonesia mampu menguasai dan memproduksi teknologi tersebut untuk menjamin penyediaan energi yang aman, murah, dan berkelanjutan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: