Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nuh: Ekonomi Syariah di RI Hanya Sebatas Halal-Haram

Warta Ekonomi -

WE Online, Surabaya - Komisaris Utama Bank Mega Syariah Prof Dr Ir KH Mohammad Nuh DEA menilai ekonomi syariah di Indonesia masih sebatas halal-haram atau fiqih-oriented, sehingga ekonomi syariah dalam kurikulum di universitas maupun dalam praktek di perbankan pun tidak maksimal.

"Ibarat bangunan, soal halal-haram dalam ekonomi syariah itu hanya tembok, sedangkan soal di luar itu justru ibarat ruang. Yang namanya tembok itu selalu lebih kecil daripada ruang," katanya saat menjadi pembicara utama dalam seminar nasional 'Islamic Finance 2015' di Surabaya, Kamis (17/9/2015).

Dalam seminar yang digelar Program Manajemen Bisnis ITS Surabaya, FE Unusa (Universitas NU Surabaya), dan Prodi Ekonomi Syariah UISI (Universitas Internasional Semen Indonesia) itu, ia menilai sistem syariah itu sudah pernah terbukti bagus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan berkali-kali dikupas dalam Al Quran.

"Masalahnya, untuk zaman sekarang masih dipahami sebatas halal-haram, padahal dalam muamalah (perdagangan) itu hanya ada empat hal yang haram dan selebihnya adalah halal," kata mantan Mendikbud yang juga salah seorang Ketua PBNU itu.

Keempat hal dimaksud adalah objek yang memang dinyatakan haram, ada unsur spekulatif (judi), ada unsur gharar (tidak pasti), dan perlakuan tidak adil (un-fair).

"Misalnya, kalau bir itu haram, maka bank syariah memberi modal pabrik bir itu sudah jelas haram, tapi kalau bank syariah memberi modal pada pabrik celana dalam ya tidak apa-apa, karena celana dalam itu tidak haram," katanya.

Oleh karena itu, ruang kreasi di luar empat hal itu cukup besar. "Jadi, urusan halal-haram itu hanya sedikit, tapi inovasi dalam bisnis syariah itu sangat luas, sebab Islam memang rahmatan lil alamin," katanya.

Di hadapan ratusan peserta seminar yang berasal dari kalangan mahasiswa dan praktisi bank syariah itu, Nuh yang juga Guru Besar ITS Surabaya itu menyatakan kurikulum ekonomi syariah di Indonesia sudah saatnya dirombak.

"Kalau sebatas halal-haram, maka kita akan sulit mencetak sumber daya manusia perbankan yang mengerti syariah dan juga profesional. Artinya, kita hanya mencetak penjaga gawang, padahal kita membutuhkan penjaga gawang dan juga penyerang," katanya.

Oleh karena itu, mantan Rektor ITS Surabaya yang kini menjabat Ketua Umum Yayasan RSI Surabaya yang menaungi RSI Surabaya dan Unusa itu mengharapkan Unusa, UISI, dan ITS menjadi pioner dalam perombakan kurikulum ekonomi syariah "Harapannya, kita akan bisa mencetak profesional perbankan yang mengerti syariah. Kalau inovatif, tentu akan mampu melihat peta bisnis pada masa depan, sehingga perbankan syariah yang selama ini lebih bersifat murobahah (jual beli) akan menuju skema mudhorobah (investasi) yang menjadi jiwa ekonomi syariah," katanya.

Sementara itu, Asc.Prof. The University of Nottingham Malaysia Dr Nafis Alam, selaku pembicara utama kedua dalam seminar itu menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia.

"Faktanya, bisnis di Indonesia berupa SME. Sekitar 50 persen tidak memiliki akses pembiayaan, karena itu potensi penerapan ekonomi syariah di Indonesia masih besar, apalagi hanya 7,8 persen dari konsumen Indonesia menggunakan pembiayaan syariah, padahal warganya 85 persen Muslim," ujarnya.

Senada dengan itu, Direktur Keuangan Semen Gresik (Semen Indonesia Grup) Muchamad Supriyadi SE.Ak.CA menyatakan Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan "kiblat" pengembangan keuangan syariah di dunia.

"Itu bukan impian yang mustahil, karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar, diantaranya jumlah penduduk Muslim yang besar, dan prospek ekonomi yang cerah," katanya dalam seminar yang juga ditandai dengan kerja sama Unusa, ITS, dan UISI itu.

Selain itu, peningkatan "sovereign credit rating" Indonesia menjadi "investment grade" yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah, dan sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai "underlying" transaksi industri keuangan syariah. (Ant)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: