Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

TP Rachmat Sang 'Extrapreneur' Sejati

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Sepintas, ketika baru kenal atau melihat sosoknya, ia kelihatan dingin, kalau tidak mau dibilang kaku. Senyumnya amat irit, tidak banyak mengumbar kata, apalagi tawa. Bicara seadanya, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya.

Namun, gambaran itu segera sirna ketika orang mengenalnya secara pribadi. Ia termasuk pribadi yang hangat, tidak menjaga jarak dan sangat nyaman bicara soal apa saja,  seperti seorang anak kepada ayahnya. Bahkan, saking hangat dan dekatnya dengan bawahannya, ia menjadi kolega dan bukan pemimpin yang hanya selalu bicara soal pekerjaan dan target. Itulah sosok pemimpin, mentor, ayah, dan sahabat yang saya kenal dengan panggilan Pak Teddy. 

Suatu saat kami sedang melakukan kunjungan kerja ke Semarang. Ia meminta kami untuk menyiapkan makan malam di Soto Bangkong. Suatu permintaan yang sangat sederhana buat pemimpin sekaliber beliau, Presiden Direktur Astra. Kolega saya, sebut saja Emma, berani merajuknya, yang membuat ia menyeringai besar.

Pak, kalau ke sini hanya makan Soto Bangkong, kami sudah terbiasa dan itu sudah menjadi menu sehari-hari. Justru ada Pak Teddy, kami diajak makan di resto yang eksklusif–malu menyebut mahal–agar bisa merasakan makan elite khas Semarang.”

“Ya sudah, diatur saja mau ke mana, saya ikut kamu, kata Pak Teddy.

“Betul ya, Pak, saya akan atur kita dinner di resto ini, kali ini Emma makin mantap.

Perbincangan manusia terjadi. Bukan soal pemimpin dan bawahan, melainkan soal hasrat bawahan dan kebutuhan pemimpin. Kalau pemimpin mengalah, tidak maunya sendiri menentukan segalanya karena keinginannya, maka yang terjadi adalah hubungan manusiawi yang membumi, bukan sekadar tugas dan kewajiban pekerjaan semata. Dengan kekuasaan yang dimiliki pemimpin, bawahan hanya bisa tunduk dan menerima, walaupun secara nurani tidak sepakat.

Beruntung Pak Teddy bukanlah sosok yang suka memaksakan kehendak. Bukan hanya soal kecil, memilih makan malam, melainkan di semua aspek keputusan bisnis, mulai dari yang operasional sampai ke yang amat strategis. Ia pendengar yang baik, menerima semua masukan dan dengan tajam menganalisis semua kemungkinan yang ada.

Ketika sudah harus memutuskan, ia tidak ragu walaupun belum semua data ia miliki. Ini bukti bahwa ia bukan saja seorang entrepreneur–wirausaha yang mengandalkan “guts” dan keberanian melihat peluang tanpa data sekalipun–melainkan ia juga seorang intrapreneur alias profesional atau pegawai yang memutuskan sesuatu setelah data dan analisis lengkap tersedia. Makanya, saya menyebutnya sebagai “extrapreneur”, artinya memiliki kapasitas sebagai  entrepreneur  dengan kapabilitas seorang intrapreneur.

Gabungan gaya “profesional pengusaha” inilah yang membuat Pak Teddy memiliki kepemimpinan yang berbeda dengan profesional murni atau pengusaha murni. Ia tidak berorientasi pada profit sebagai “the name of the game”, artinya segalanya untuk keuntungan dan demi keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Baginya, profit adalah “the score of the game”, hasil akhir dari sebuah perjalanan panjang yang dinamakan “business process”.

Baginya, kompromi pada proses akan berakibat fatal pada hasil. Pembenahan proses melalui perbaikan sistem dan teknologi dengan cara “kaizen” atau “innovation” adalah DNA yang sudah menjadi bagian dari gaya hidupnya.

Begitu kuatnya  kepercayaan  pada pembenahan akan proses, ia memiliki daya tahan tinggi kalau me-review kinerja perusahaan. Ia jarang melihat hasil, apalagi angka keuangan yang bisa dikutak-katik untuk menghasilkan bilangan yang dimaui, tetapi ia sangat tajam menganalisis proses. Baginya, hukumnya sudah jelas, proses dulu baru hasil.

Itu sebabnya, ketika saya diberi kesempatan menjadi Wakil Presiden Direktur United Tractors, perusahaan yang dibidaninya, ia berpesan sangat akan fokus pada proses dan bukan mengejar hasil. Kejar proses sampai yang sekecil-kecilnya, dan amati hasil keuangan secara “big picture”, maka perusahaan akan maju dan kuat secara fundamental.

Cintanya pada proses membuatnya sangat dekat dengan persoalan sumber daya manusia. Pelatihan dan penambahan pengetahuan yang terus-menerus diyakininya akan meningkatkan nilai tambah orang tersebut yang berujung pada peningkatan kinerja perusahaan. Ia tak hanya memerintahkan anak buah untuk “dilatih”,  tetapi ia memberi contoh dengan menjadi “pembelajar” sejati. Ia menggali ilmu dari mana saja dan dari siapa saja tanpa memandang orang itu siapa.

Pernah suatu saat, ketika itu saya masih staf biasa, Pak Teddy memberikan buku Kaizen karangan Masaaki Imai kepada saya dengan catatan singkat “Untuk dipelajari”.  Kebetulan saya orang yang suka membaca, dan ketika selesai membaca, saya biasakan membuat catatan ringkas berupa insight dan bukan ringkasan biasa, dengan tambahan “What can we do next?”.  Catatan itu saya kirimkan kepada beliau, tanpa bermaksud apa pun sebagai bagian dari ucapan terima kasih karena mendapat buku baru.

Hanya selang beberapa saat, saya mendapat note di atas catatan saya, “Undang Mr. Imai ke Jakarta”.  Saya waktu itu tertegun, lalu saya menemui beliau untuk menanyakan maksudnya. “Kamu ke Jepang, explain soal Astra dan undang beliau kemari.”  Bayangkan, saya bisa ke luar negeri, kala itu baru yang kedua kali, langsung ke Jepang dengan mendapat mandat mengundang seorang pesohor dengan otorisasi negosiasi biaya secara penuh.

Itulah gayanya dalam mengelola sumber daya manusia. Ia memberi kepercayaan penuh. Ia yakin, ketika kepercayaan diberikan, kreasi akan dikembangkan sehingga hasilnya akan maksimal. Itu sebabnya, ketika saya mengajukan anggaran yang cukup besar untuk membeli tanah dan membangun pusat pelatihan, yang akhirnya saya usulkan dengan nama “Astra Management Development Institute” (AMDI), ia pun menyetujuinya.

Ketika gedung itu selesai, dan diresmikan oleh mantan Presiden Soeharto pada 11 Maret 1997, AMDI merupakan gedung terbagus di lingkungan Astra mengalahkan gedung perkantoran lain yang ada. Ini membuktikan ia seorang yang “walk the talk”, komitmen pada sumber daya manusia melebihi daripada membangun “Astra Tower”, misalnya. Sampai saat ini, AMDI dengan segala jenis pelatihannya tetap terjaga bahkan dikembangkan lebih cepat dan lengkap oleh Pak Prijono Sugiarto, Presiden Direktur Astra saat ini.

Ketika ia mau “lengser” dari puncak kepemimpinan, ia mempersiapkan penggantinya dengan rapi. Tidak banyak pemimpin yang lagi dalam masa puncak memilih “turun tahta” untuk memberi kesempatan “yang lebih muda” berkarya. Legowo dan sumeleh. Ia adalah simbol pemimpin yang tahu kapan harus mengayuh dan kapan harus mengalihkan tongkat komandonya.

Sekarang, walaupun kami sudah tidak memiliki hubungan komando dan bisnis secara langsung, saya masih sering berkonsultasi dan menggali “wisdom” yang tak lekang oleh waktu karena “he is well updated and well informed”. Memang, ia bukan mentor yang suka kepo–meminjam istilah anak muda sekarang yang artinya suka mau tahu–dan ia juga bukan orang yang suka “mengajar”. Namun, ketika kita minta nasihatnya, kumpulan pengalaman dan kebijakannya  dialirkan tanpa pernah pamrih. Ia menginspirasi saya.

Kesederhanaan, kerendahan hati, dan kemanusiaannya yang membuat saya melihat sosok ini adalah manusia yang patut diteladani bukan karena membangun citra, melainkan  karena kinerja.

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 17

Oleh: Paulus Bambang WS, Penulis buku Built to Bless Company; Lead to Bless Leader; Balancing Your Life; dan As CEO’s Soulmate

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: