Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Didesak Amandemen Kontrak Freeport Indonesia

Warta Ekonomi -

WE Online, Pontianak - Direktur Puskepi Sofyano Zakaria mendesak Pemerintah merenegosiasi perubahan atau amandemen kontrak Freeport Indonesia (FI) agar selaras dengan aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

"Pemerintah harus melakukan perundingan atau negosiasi, yang mungkin sudah dilakukan oleh pemerintah pada pertengahan 2014 dengan membuat nota kesepahaman yang intinya adalah merenegosiasi kontrak tersebut yang disepakati tahun 1991," kata Sofyano Zakaaria di Pontianak, Senin (14/12/2015).

Menurut dia, tentunya, hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tentu ada pihak yang pro dan kontra terkait kesepakatan yang telah dituangkan dalam nota kesepahaman tersebut. Dalam bernegosiasi itu, tentu saja pemerintah harus cerdas dan kerja keras untuk mampu meyakinkan pihak FI agar bersedia mengikuti beberapa persyaratan yang diajukan pemerintah.

"Dalam renegosiasi ini FI mungkin saja bersedia mengikuti beberapa permintaan itu, tetapi tidak mungkin FI tidak mengajukan persyaratan yang 'menguntungkan' bagi mereka, misalnya meminta pemerintah menjamin dan berkewajiban memperpanjang kontrak sebagai jaminan atas kelanjutan bisnis mereka di NKRI seperti yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja sama tahun 1991," ungkapnya.

Terkait perpanjangan kontrak kerja sama, FI juga tentu saja telah mempelajari dengan seksama kontrak yang dibuat pemerintah tahun 1991, dimana terdapat pasal yang memberi hak kepada FI untuk bisa membawa pelanggaran terhadap kontrak yang tidak menguntungkan bagi mereka, untuk bisa digugat ke badan arbitrase internasional.

"Dengan demikian, situasi ini tentunya akan membuat siapapun yang jadi menteri ESDM saat ini akan menghadapi dilema ini. Bagi pihak yang belum mengetahui secara detail persyaratan yang diatur dalam kontrak tahun 1991 tersebut, maka bisa saja berpendapat 'jangan diperpanjang'," ujarnya.

Namun jika itu dituruti oleh pemerintah dan ternyata kemudian pemerintah digugat oleh FI melalui sidang arbitrase internasional, lalu kemudian kalah serta diharuskan membayar tuntutan "ganti rugi" yang diajukan FI, sehingga pemerintah dinyatakan telah melakukan perbuatan yang merugikan negara oleh pihak-pihak tertentu.

Di sisi lain, pemerintah akan pula menghadapi persoalan yang sangat pelik dan rumit apabila terjadi tidak diperpanjang kontrak FI itu, yaitu bagaimana dengan pendapatan negara dan pemda yang akan hilang selama terjadi penghentian operasi, kemudian banyak pegawai FI yang kebanyakan orang Papua akan hilang pendapatannya dan multiplier effect yang lain, katanya.

"Pemerintah dalam menghadapi FI harus cerdas dan ramah ketika melakukan negosiasi, dan harus mampu meyakinkan FI, bahwa dibelakang pemerintah ada ratusan juta rakyat Indonesia yang harus diperjuangkan kepentingannya bahwa perpanjangan kontrak FI harus memberikan manfaat dan keuntungan yang sebesar besarnya bagi rakyat dan bangsa ini," katanya.

Sementara, jika bangsa ini sudah sepakat bahwa Freeport harus hengkang dari bumi Indonesia, maka harusnya DPR RI melalui sidang paripurna yang dibuat khusus untuk itu, menetapkan keputusan itu dengan mengamanahkan kepada pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak dengan FI.

Kemudian, segala macam resiko yang timbul akibat hal tersebut harus ditanggung bersama antara pemerintah dan DPR RI. Jadi publik akan memaknai bahwa tidak akan ada dusta antara mereka dan tidak ada bujukan ular untuk menghancurkan salah satu pihak, katanya.

Direktur Puskepi menyatakan, pada kontrak yang dibuat antara pemerintah yang berkuasa saat itu dengan Freeport, banyak sekali "restriksi" yang membatasi gerak pemerintah, diantaranya, kontrak yang berlaku tersebut mengacu dan berdasarkan UU serta peraturan yang dibuat 1991 dan sebelumnya, jadi, paling tidak berdasarkan interpretasi pihak Freeport Indonesia, UU dan peraturan setelah itu (1991 dan seterusnya) tidak mengikat pihak mereka.

Kemudian, juga disebutkan FI bisa meminta perpanjangan kontrak kerja sama, kapan saja untuk jangka waktu selama 2 x 10 tahun, dan dalam kontrak FI tahun 1991 tersebut, juga menyatakan bahwa keberadaan tambang tersebut tidak bisa dinasionalisasi.

"Sehingga jelas hal tersebut merupakan dilema bagi pemerintah yang berkuasa kemudian yang menghadapi permintaan perpanjangan PT FI, seperti yang terjadi saat ini," kata Sofyano. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: